Silent Fight
Silent Fight
Hendra Eka (Jawa Pos, Jakarta)
Enam piring kecil berisi lauk-pauk dan buah segar siap disajikan untuk makan siang biksu dan biksuni yang tinggal sementara di Gedung Prasadha Jinarakkhita (PJ), Jakarta Barat.
Empat orang biksu duduk bersama di satu meja beralaskan kain merah. Sedangkan satu-satunya biksuni disitu, Thitacarini, duduk sendirian ditemani tiga buah kursi kosong. Sebelum makan, lima perempuan yang menyajikan makanan tersebut berdoa bersama. Biksu dan biksuni duduk di kursi, sedangkan lima perempuan lain lesehan di sekitar kursi sambil berdoa sejenak.
Thitacarini terlahir dengan nama asli Julia Surya 32 tahun lalu di Bengkalis, Riau.
Usai tamat SMA, ia melanjutkan kuliah di Sekolah Tinggi Ilmu Agama Buddha (STIAB) Smaratungga di Boyolali, Jawa Tengah. Saat itu pula dia menjadi samaneri (calon biksuni). Namanya berganti dari Julia Surya menjadi Thitacarini yang berarti keteguhan dalam menjalani kehidupan.
Tepat pada tahun keempat, Thitacarini menyelesaikan studinya. Dia menyandang predikat cum laude sarjana Pendidikan Buddha (S.Pd.B) dengan IPK 3,87. Ia lalu meneruskan S-2 di Universitas Kelaniya, Sri Lanka.
Penantian lama untuk menjadi biksuni tiba, karma baik memayungi langkah Thitacarini. Pada 12 Mei 2012 di Dekanduwala Dharma Center, Sri Lanka, Thitacarini ditahbiskan menjadi biksuni.
Cita-citanya tercapai, bak kisah bahagia Tenzin Gyatso, Dalai Lama ke-14 yang baru bisa memasuki wilayahnya setelah lebih dari lima dekade. “Saya sangat bahagia karena cita-cita saya untuk menjalani kehidupan sebagai seorang biksuni bisa tercapai,” ujar Thitacarini.
Thitacarini tercatat sebagai biksuni pertama dari tradisi Theravada di Sangha Agung Indonesia. Mengutip situs dhammawheel.com, hanya ada sekitar 1.000 biksuni di seluruh dunia, angka yang sangat sedikit jika dibandingkan dengan biksu yang berjumlah lebih dari 500.000 orang.
Setelah penahbisan, hanya perlu waktu dua tahun hingga akhirnya dia berhasil meraih gelar Master of Arts (MA).
Tak hanya tepat waktu, Thitacarini juga menjadi satu-satunya mahasiswa dalam sejarah universitas Buddhis tertua di dunia itu yang berhasil meraih medali perak (summa cum laude) diploma S-2 dan medali emas (summa cum laude) master S-2 secara berturut-turut. “Kebetulan, ketika diploma dan master di Sri Lanka, saya menjadi satu-satunya mahasiswa yang berturut-turut meraih medali perak dan emas,” jelas Thitacarini.
Berbeda dengan kuliah S-2 di Indonesia, beberapa mahasiswa di Sri Lanka diwajibkan mengikuti diploma S-2 sebelum benar-benar beranjak mengambil gelar master. Lulusan terbaik diploma S-2 diganjar medali perak, adapun master S-2 mendapat medali emas.
Tamat S-2, ia lalu mengambil jenjang pendidikan yang lebih tinggi di kampus yang sama.
Thitacarini berharap level kesetaraan pendidikan ilmu agama Buddha di Indonesia bisa sama dengan agama lain dan tidak perlu ke luar negeri untuk belajar. “Saya berharap suatu saat ada universitas Buddhis yang besar seperti punya saudara-saudara kita dari agama lain,” pungkasnya.