Menari bersama Api
Menari bersama Api
Muhammad Zaenuddin, katadata.co.id – Jakarta
Open relationship atau poliamori merupakan praktik hubungan yang melibatkan beberapa pihak, dengan persetujuan dan pengetahuan semua pihak yang terlibat. Berbeda dengan poligami atau poliandri yang dicirikan dengan ketimpangan peran gender, poliamori bersifat inklusif dan cair. Tiga pasangan yang menjalani open relationship dalam cerita ini menunjukkan bahwa hubungan paling pribadi kerap dipenuhi tabu sosial dan rahasia. Pola relasi semacam ini kontras dengan mazhab monogami yang lazim di masyarakat. Karenanya, banyak stigma seperti amoral dan aneh yang disematkan kepada mereka yang menjalani hubungan tersebut.
Irwan Martua Hidayana, peneliti sekaligus dosen Antropologi di Universitas Indonesia, menjelaskan: “Selama ini pandangan umum masyarakat di Indonesia perihal seksualitas dan gender adalah secara biner – laki-laki dan perempuan, maskulin dan feminin – tanpa mempertimbangkan identitas gender dan seksualitas lainnya. Masyarakat juga memandang heteroseksualitas sebagai orientasi seksual yang “normal”, jika bukan sesuatu yang wajib. Sedangkan homoseksualitas, biseksualitas, atau pola hubungan poliamori dianggap tidak dapat diterima.”
Garry Izack (30), mahasiswa berdarah Papua yang tumbuh besar di Belanda, mengatakan: “Hal ini adalah bentuk keintiman yang mendukung pertumbuhan pribadi dan komunikasi. Tak hanya secara biologis tapi juga psikologis, karena pola hubungan yang saya jalani dengan pasangan tidak melulu soal seks.” Ia menambahkan bahwa hubungan poliamori dapat bermanfaat dalam upaya mendorong kesetaraan gender.
Pola hubungan ini mulai populer dan dibicarakan di media sejak Nena dan George O’Neill menulis buku Open Marriage yang diterbitkan tahun 1972. Sejak itu, berita mancanegara semakin sering memuat tentang relasi ini. Mengutip dari theconversation.com, sebuah studi di Amerika Serikat menunjukkan bahwa dua hingga empat persen orang dewasa mengaku menjalani open relationship.
Berbeda dengan masyarakat di wilayah Amerika Utara yang mulai terbiasa dengan open relationship, orang-orang di Indonesia baru membicarakannya sekitar lima tahun belakangan. Eklesya (25), Media Specialist, menyatakan, “Sebagai seorang perempuan muda, saya rasa kita bisa bebas memilih jalan masing-masing, termasuk pilihan gaya berhubungan. Sejauh ini, saya dan pasangan bahagia meski kerap kali dicibir oleh orang-orang terdekat saya yang masih memandang konteks hubungan ini melulu soal seks.”
Kups (36), Digital Artist, memiliki pandangan berbeda. Ia adalah orang ketiga dalam hubungan pasangan suami istri yang menjalankan open relationship. Setelah dua tahun bersama, ia mulai merasa sulit menerima kenyataan bahwa ia hanya dijadikan pelarian. “Awalnya kami sepakat untuk menjalani hubungan secara diam-diam, karena kami adalah sepasang perempuan yang menjalin cinta di tengah masyarakat yang masih sangat mengutuk hal itu. Kondisi kami diperparah oleh status salah satu dari kami yang sudah berkeluarga. Menjalani hubungan ini di Indonesia yang masih sangat heteronormatif bagaikan menari dikelilingi api.”
Melalui foto cerita ini, saya mencoba menampilkan ragam kisah dan tantangan yang dialami orang-orang yang kerap kali dianggap keliru tentang keyakinan cintanya. Subyek cerita yang termuat berasal dari demografi yang beragam, baik usia, agama, profesi, jenis kelamin dan seksualitas. Mereka berbagi kisah ini untuk menolak paksaan diam dalam belenggu sistem yang membuat diri mereka sulit diterima di masyarakat Indonesia.