Sesi 1 : Opening Program PPG 2014 & Digital Work Flow | 25 November 2014
Program Permata PhotoJournalist Grant (PPG) 2014 – Erasmus Huis Fellowship To Amsterdam dibuka di PermataBank, Gedung WTC II, Ruang Nusantara, Selasa (25/11). Acara dihadiri para undangan, mitra, pewarta foto dan Alumni PPG I, II dan III.
Rangkaian acara dibuka dengan kata sambutan oleh Leila Djafaar (Executive Vice President-Head Corporate Affairs PermataBank) dilanjutkan oleh Emma Kay (Deputy Director Erasmus Huis & Embassy of the Kingdom of Netherland). Leila Djafaar mengatakan, “Heritage menjadi tema sentral kami di PPG 2014 ini mengingat Indonesia memiliki keragaman pusaka yang tersebar di pelosok negeri. Dengan mewartakan keindahan dan keragaman pusaka yang kita miliki melalui medium visual para pewarta foto, kami berharap kesadaran dan kepedulian masyarakat untuk merawat, menjaga dan melestarikan pusaka Indonesia dapat terbangun. Langkah kecil yang kami lakukan bersama para mitra dan BPPI ini semoga dapat memberikan sumbangsih terhadap bangsa Indonesia”.
Sementara itu Catrini P. Kubontubuh (Ketua I Badan Pelestarian Pusaka Indonesia) menyampaikan presentasi tentang Pusaka Indonesia yang dipilih sebagai tema PPG tahun ini. Diharapkan presentasi ini dapat membantu 10 penerima PPG 2014 dalam memahani pengertian Pusaka Indonesia dan menentukan satu cerita untuk diangkat menjadi photo story mereka.
Hadir pula Rosa Panggabean (Antara Foto) sebagai Alumni PPG I yang mendapatkan Erasmus Huis Fellowship To Amsterdam tahun lalu dalam talk show seputar program PPG, yang di moderatori Arnita Rosiana (External Communication PermataBank). Rosa berbagi pengalaman dan kesan selama mengunjungi Amsterdam dengan agenda menghadiri World Press Photo Award Days dan mengerjakan photo story dibawah bimbingan Kadir van Lohuizen (NOOR). Ia mengakui bahwa fotografer Indonesia belum memiliki konsep cerita yang kuat walaupun secara secara visual tidak kalah bagus dengan fotografer internasional.
Acara ditutup dengan kelas pertama yang membahas Digital Work Flow dan proposal terkait tugas membuat photo story bertema Indonesian Heritage. Salah satu mentor PPG Ahmad 'deNy' Salman menugaskan peserta untuk memperbaiki proposal yang diajukan dengan memperhatikan kedalaman cerita yang akan dipilih dan lokasi di sekitar Jakarta demi proses belajar yang optimal. Para peserta PPG 2014 ini nantinya akan mengikuti kelas secara intensif sejak akhir November 2014 hingga Februari 2015. Selamat datang, selamat bergabung di kelas Permata Photojournalist Grant 2014, dan selamat berkarya! (EL / Foto : Fakhri)
Sesi 16 Kelas PPG: Multimedia bersama Eddy Hasby
Multimedia dan perkembangannya sangat pesat. Artinya, di dalam dunia online, kebutuhan pasar akan foto dan video cukup besar. Alhasil fotografer kerap dituntut untuk memenuhi kebutuhan ini dan tentunya memberikan peluang bagi fotografer untuk mengisi “lahan” baru tersebut melalui karya-karyanya.
“Sekarang ini kita hidup di generasi online dimana semua aplikasi dan teknologi sudah sangat terbuka dan generasi fotografer saat ini penting untuk dibekali ilmu baru termasuk multimedia,” kata Eddy Hasbi, fotografer senior harian Kompas yang saat itu menjadi mentor tamu Kelas Permata Photojournalist Grant 2013 pada hari Jumat lalu (13/12) di kelas PPG di PermataBank Tower lantai 21, Jakarta.
Di dalam sesi kelas yang berlangsung selama tiga jam, Eddy menyampaikan bahwa multimedia sendiri sebetulnya bukan hal yang baru dan saat ini dalam multimedia dikenal beberapa kategori, seperti Shoot Online, Picture Online, dan Alternative Documenter. Dengan memadukan antara foto, video, dan audio, para fotografer bisa memanfaatkan elemen-elemen tersebut untuk membuat karya multimedia. Masih menurut Eddy, tantangan utamanya adalah kemampuan untuk membuat story telling dan riset.
Untuk membuat multimedia, Eddy pun tak segan-segan membagi beberapa trik berdasarkan pengalamannya. Termasuk trik-trik seperti zoom-in, zoom out, dan panning agar multimedia yang dihasilkan tidak membosankan. Eddy juga memperkenalkan beberapa teknik baru yang mau tidak harus dikenal oleh fotografer, misalnya teknik hyperlapse, time lapse, paralaks, tilt, trekking, dll.
Menurut Eddy bagi fotografer yang ingin bergerak ke ranah multimedia sebetulnya tidaklah terlalu sulit. Satu hal yang perlu diasah adalah kemampuan si fotografer untuk memilah kapan ia harus memotret untuk karya foto still dan kapan harus merekam untuk kebutuhan video. Selebihnya adalah memadukannya dengan wawancara, materi riset, dan storyline yang sebelumnya sudah dibuat.
Di sesi kelas yang juga merupakan sesi terakhir kelas PPG, Eddy juga memutarkan beberapa teaser dan multimedia karyanya serta beberapa stopmotion dari mancanegara yang bisa dijadikan referensi bagi para peserta untuk mengenal lebih jauh tentang multimedia.
“Intinya adalah koleksi foto-foto kita bisa menjadi dokumenter asal mempunyai kekuatan bermain di story telling dan fotografer juga harus menyadari bahwa kumpulan foto-fotonya kelak bisa diolah,” kata Eddy saat mengakhiri kelas. (AWS/foto: Radityo Widiatmojo)
SESI 15 Kelas PPG 2013: Editing Bersama Kadir van Lohuizen (NOOR)
Tak terasa program PPG 2013 sudah memasuki tahap akhir. Seperti tahun lalu, Kadir van Lohuizen (NOOR) dihadirkan untuk sesi Editing. Dalam sesi ini, para peserta PPG 2013 mendapat kesempatan langka untuk berdiskusi langsung dengan Kadir. (foto: Radityo Widiatmojo)
Sesi 14 Kelas PPG: Editing (3)
Tak terasa kelas PPG 2013 sudah memasui sesi ke 14 (3 Desember 2013), dimana dalam sesi ini para peserta melakukan photo editing sebelum memasuki kelas Kadir van Lohuizen esok harinya.
Sesi 13 Kelas PPG: Review Foto Story dengan Sasa Kralj
Rangkaian foto dalam sebuah photo story tidak akan memiliki arti jika tidak dilengkapi caption dan riset yang kuat. Bukan tidak mungkin story yang dihasilkan akan terlihat kurang berbobot, repetitif, membosankan dan menjadi linier. Lagi-lagi dengan riset yang kuat disertai kemampuan menulis caption berisi detail informasi, fotografer mampu menyampaikan pesan yang akan disampaikan melalui 'story' dalam foto-fotonya. Poin-poin tersebut kembali ditekankan Sasa Kralj, fotografer asal Kroasia, yang kembali hadir sebagai mentor tamu di Sesi 13 pada hari Jumat (29/11) lalu di Kelas PPG, PermataBank Tower, Jakarta.
“Story has to be researched and discovered and told through motives. It is the WHY part of the caption that gives us story and its relevance,” kata Sasa.
Lewat aplikasi online Skype, Sasa me-review photo story setiap peserta dan memberikan feedback. Berdasarkan pengalamannya, sesekali Sasa juga memberikan tips bagaimana menggarap sebuah ide untuk photo story hingga mampu menghasilkan in-depth photo story. Masih menurut Sasa, sebagai seorang fotojurnalis sangatlah penting mewawancarai narasumber, berbicara dengan para ahli di bidangnya, ke LSM atau NGO terkait projek foto yang dikerjakan agar fotografer mengetahui detail permasalahan, latar belakang serta relevansinya.
Meski terkesan rumit tapi sesi ini sangat bermanfaat bagi para peserta Kelas PPG.
“Sesi yang sangat menarik karena terkadang fotografer luput akan pemberian caption dan hanya mencantumkan judul, padahal judul tidak memberikan informasi yang detail sehingga memungkinkan pembaca atau orang yang melihat foto kita jadi berasumsi dan berpikir kemana-kemana dan menimbulkan cerita yang berbeda,” kata Prayogi, fotografer Republika yang terpilih menjadi salah satu peserta PPG 2013.
Di satu sisi, adanya caption sangatlah penting bagi editor foto karena memudahkan seorang editor untuk mengetahui alur cerita dan inti permasalahan sehingga memudahkan editor maupun fotografer itu sendiri saat proses photo editing. Menurut Sasa, editing adalah konsekuensi langsung bagi editor atas pemahaman sebuah story.
Di Sesi yang berlangsung selama kurang lebih tiga jam, Sasa juga menyarankan untuk mulai menggunakan fasilitas recorder dan merekam beberapa pembicaraan. Lantaran dari hasil photo story para peserta, beberapa diantaranya cukup potensial untuk dibuat multimedia dengan kombinasi audio dan foto. Hal lain yang ditekankan oleh Sasa selama menyampaikan materi adalah bahwasanya fotojurnalis adalah gabungan antara FOTO dan JURNALIS. Sehingga fotografer jangan hanya terjebak pada kemampuan menghasilkan foto-foto semata, tapi juga harus tetap mengasah kepekaan sebagai seorang jurnalis.
“I would like you to discover the story. So learn something new… something that you don't know and something that you can teach us,” pesan Sasa. (AWS/foto: Radityo Widiatmojo)
Sesi Panel kelas PPG
Hampir dua bulan sudah kelas PPG berjalan sejak sesi pertama berlangsung awal Oktober lalu. Selama kurun waktu tersebut, ke-10 fotojurnalis penerima Permata Photojournalist Grant 2013 telah melewati 12 Sesi Kelas dan mempelajari banyak hal. Mulai dari mengenal photo story dan jenis-jenisnya, cara membuat proposal, melakukan riset, menulis caption, visual literacy, hingga photo editing. Proses shoot and re-shoot serta self-editing seolah sudah menjadi hal rutin ketika bagi peserta demi menyelesaikan photo story masing-masing yang nantinya akan dipamerkan di akhir program.
Sebagai bagian dari program, salah satu agenda yang rutin dilakukan adalah Sesi Panel dimana Kelas PPG mengundang Tim Panelis yang terdiri dari Leila Djafaar (EVP-Head Corporate Affairs PermataBank), fotografer senior Dita Alangkara (Associated Press/AP), dan redaktur foto Hariyanto dari Media Indonesia.
Di dalam Sesi Panel yang berlangsung pada hari Selasa (26/11) di Pad@28, Senopati, Jakarta Selatan, para peserta PPG mempresentasikan photo story masing-masing berupa slideshow di hadapan Tim Panelis dengan durasi masing-masing 10 - 15 menit. Kritik maupun saran dilontarkan oleh Tim Panelis, namun tak jarang juga beberapa karya foto dan photo story beberapa peserta juga diberi pujian terutama terkait konsep cerita dan proses penggalian ide photo story terkait tema PPG tahun ini yang mengangkat tema “Pemberdayaan” (Empowerment).
“Secara teknis sebetulnya beberapa sudah oke, mungkin tantangan terbesarnya adalah bagaimana menghasilkan photo story yang betul-betul personal yang mampu menunjukkan foto-foto dengan pendekatan emosional dan ada unsur kedekatan antara si fotografer dengan subjeknya,” kata Hariyanto.
Serupa dengan Hariyanto yang menekankan pentingnya unsur emosional dan kedekatan dengan subjek, menurut Leila DJafaar, foto-foto yang menunjukkan adanya emosional tentunya memilik impact yang powerful terhadap pembaca. Leila juga menambahkan, “Tantangan lain yang rekan-rekan fotojurnalis hadapi adalah bagaimana menghasilkan photo story dengan ide maupun konsep cerita yang out of the box, yang tentunya hal tersebut mau tidak menuntut para fotojurnalis untuk melakukan riset dan banyak membaca.”
Masih menurut Leila, setiap tahunnya komite berusaha meningkatkan kualitas program PPG, baik melalui program atau materi pelajaran hingga para fotografer lokal maupun bertaraf internasional untuk hadir menjadi mentor tamu. Seperti misalnya tahun ini yang kembali menghadirkan fotografer asal Belanda pemenang World Press Photo, Kadir Van Lohuizen. Menariknya lagi, tema Pemberdayaan itu sendiri justru seolah menjawab tantangan bagi para fotojurnalis sendiri untuk juga mampu 'memberdayakan' dirinya, salah satunya dengan mengerjakan sebuah photo story.
“Banyak dari para peserta PPG memiliki potensi dan masih banyak yang bisa digali. Harapannya kalau bisa ada banyak program-program seperti PPG termasuk mengundang fotografer dari Asia sekadar untuk sharing cara kerja masing-masing atau bahkan ada kolaborasi dengan artis-artis yang bergerak di bidang seni kontemporer sekadar memperkaya wawasan & ide para peserta PPG,” tutur Dita Alangkara.
Sesi Panel yang berlangsung selama kurang lebih 4 jam tersebut ditutup dengan acara ramah-tamah. Turut hadir para mentor PPG, beberapa alumni PPG Angkatan I (2011) dan Angkatan II (2012) serta para tamu undangan seperti Bob Wardhana (Erasmus Huis), Sinartus Sosrodjojo (Advisor of PannaFoto), dan beberapa rekan dari PermataBank. (AWS/Foto: Radityo Widiatmojo)
Sesi Kunjungan PPG: Sanggar Anak Akar
Memaknai konteks "Pemberdayaan" memang bukan hal yang mudah mengingat makna kata Pemberdayaan itu sendiri cukup luas dan beragam. Namun sesuai dengan tema Permata Photojournalist Grant tahun ini yang mengangkat tema "Pemberdayaan", para peserta PPG 2013 bersama-sama dengan beberapa rekan dari PermataBank berkesempatan mengunjungi Sanggar Anak Akar yang terletak di pinggiran Kalimalang, Jakarta Timur, pada hari Sabtu pagi (23/11).
Sanggar Anak Akar (SAA) merupakan organisasi nirlaba yang memberdayakan anak-anak jalanan melalui pendidikan alternatif dalam bentuk Sekolah Otonom yang ditujukan bagi anak-anak jalanan maupun masyarakat dari kondisi ekonomi kelas menengah kebawah. Melalui kunjungan ke SAA, para peserta PPG bisa melihat langsung wujud nyata dan aplikasi dari makna pemberdayaan.
Disambut oleh Bapak Ibe Karyanto (Pendiri SAA) dan Ibu Saneri (Pengurus SAA), rekan-rekan di PPG dan PermataBank diajak berkeliling melihat suasana kelas dan aktivitas Sanggar Anak Akar. Obrolan dan pertanyaan-pertanyaan seputar pemberdayaan pun mengalir begitu saja dalam suasana santai. Beberapa anak kecil yang ada di sanggar bahkan terlihat begitu antusias melihat kehadiran peserta PPG yang datang lengkap dengan kameranya. Tanpa segan mereka berpose dan tertawa di depan kamera.
Mengenai kunjungan dan program Permata Photojurnalist Grant itu sendiri, baik Pak Ibe, Ibu Saneri, maupun kawan-kawan Sanggar Anak Akar menyambut positif program tersebut. Mereka pun membuka pintu lebar-lebar bagi peserta maupun alumni PPG untuk menjadi volunteer dan menjadi bagian dari program pemberdayaan SAA sesuai dengan potensi, minat, dan profesi para peserta PPG.
Pak Ibe juga menyemangati para peserta PPG yang sedang mengerjakan projek photo story terkait tema Pemberdayaan. Ia pun menjelaskan makna pemberdayaan menurut versi Sanggar Anak Akar.
“Di Sanggar Anak Akar, pemberdayaan itu intinya adalah menemani & mendampingi. Kita ibarat teman yang berusaha membangkitkan kesadaran anak-anak (jalanan) bahwa mereka punya potensi dan harus dikembangkan,” kata Ibe menjelaskan.
Ibe menambahkan, “Kita hanya teman bicara, teman berdialog. Begitu mereka paham kemauan dan potensi masing-masing, kita dukung dan kita biarkan untuk mereka tampil dan mengembangkan diri.”
Memulai suatu kegiatan pemberdayaan memang butuh waktu dan pemikiran yang besar, namun kadang sesuatu bisa dimulai dari hal yang kecil bahkan sederhana. Salah satu caranya mungkin dengan bergabung menjadi volunteer dan berbagi ilmu & pengetahuan di Sanggar Anak Akar. Tertarik bergabung? (AWS/foto:Okky/Elisha)
Sesi 12 Kelas PPG: Proposal & Research bersama Firman Firdaus
Memasuki sesi ke-12, tak terasa hanya tinggal beberapa minggu lagi Kelas PPG 2013 akan berakhir dimana nantinya setiap peserta akan memamerkan hasil karyanya berupa foto bertutur (photo story). Selain 'digembleng' dengan teori-teori, mempraktekannya di lapangan, lantas menyelesaikan satu photo story, salah satu hal penting yang cukup sering ditekankan di Kelas PPG adalah pentingnya riset dan membuat proposal yang baik bagi para fotografer.
Karenanya, di sesi ke-12 yang berlangsung pada hari Jumat (22/11) di PermataBank Tower, Jakarta, Kelas PPG menghadirkan Firman Firdaus dari majalah National Geographic Indonesia, sebagai mentor tamu. Selama 3 jam, sosok yang akrab dipanggil Daus ini menyampaikan materi presentasi tentang pentingnya riset & proposal.
“Riset memang melelahkan tapi penting dan harus dilakukan oleh seorang fotografer. Karena riset membuat kita menjadi terbuka dan menyadari bahwa topik yang akan kita kerjakan hanyalah bagian kecil dari satu persoalan besar yang melingkupinya,” kata Daus menjelaskan.
Secara lebih detail, Daus menjabarkan kegunaan serta hal-hal apa saja yang bisa dilakukan melalui riset. Seperti menentukan narasumber primer dan sekunder, pentingnya pengalaman pribadi (personal experiences), menghindari repetisi atau pengulangan cerita serta foto yang sama, menemukan angle baru, menemukan celah untuk membuat projek berikutnya, dan yang cukup penting adalah riset membuat fotografer lebih menghemat waktu karena sudah memiliki bekal untuk mengetahui & menentukan dimana, siapa, dan apa saja yang akan difotonya.
Setelah melakukan riset, lantas apa? Menurut Daus, dengan bekal riset yang kuat maka hal selanjutnya yang perlu dilakukan adalah membuat proposal. Meski tidak mudah tapi menurut Daus ada kalanya fotografer perlu membuat proposal sebelum mengajukan pemuatan karyanya di majalah. Daus pun kemudian memberi contoh beberapa proposal yang pernah dibuat oleh National Geographic Indonesia ke National Geographic pusat yang ada di Washington.
“There is no correct formula. Sebetulnya tidak ada formula untuk proposal yang baik, tapi yang penting dalam membuat proposal adalah memiliki narasi yang kuat, ada narrative flow, harus ada sesuatu yang baru, ada story line-nya, dan fotografer bisa menjelaskan bagaimana ia akan menyajikan cerita tersebut,” kata Daus.
Sesi pendalaman materi riset dan proposal pun akhirnya ditutup dengan sesi sharing dan tanya-jawab, serta feedback dari Daus untuk proposal masing-masing peserta.
Research it well, write it well, Keep it short and simple, dan why you?
Setidaknya poin-poin tersebut adalah beberapa hal yang perlu diingat sebagai kunci untuk membuat proposal seorang fotografer bisa diterima oleh editor. (AWS/foto: Radityo Widiatmojo)
Sesi 11 Kelas PPG: Sharing Session dengan Tjandra Moh Amin
Suasana kelas tiba-tiba terasa hangat dan ramai ketika fotografer senior Tjandra Moh Amin bergabung di kelas PPG di lantai 21 PermataBank Tower, Jakarta, pada hari Selasa (19/11) lalu. Setelah sekian lama berkutat dengan teori-teori fotografi dan editing, di sesi 11 ini, kelas PPG sengaja mengundang Tjandra Moh Amin dalam sesi “Sharing Experiences” untuk berbagi pengalaman.
Dengan gaya bicara yang khas ala orang Betawi, santai, dan ceplas-ceplos, Tjandra Amin menceritakan awal mula ketertarikannya dengan fotografi hingga ia diangkat menjadi fotografer untuk salah satu tabloid olahraga ternama di Jakarta di tahun 1994. Pengalaman saat masih memotret dengan kamera analog dan slide, foto-foto yang gagal, kesulitan dan tantangan saat memotret di lapangan, tak luput menjadi bagian dari suka-duka yang ia nikmati sebagai seorang fotografer.
Di hadapan para peserta Kelas PPG yang saat itu terlihat sangat antusias, fotografer yang baru-baru ini meluncurkan buku foto "The Colour of Sport" ini juga berbagi tips dan pengalamannya saat mengerjakan beberapa projek foto. Sekitar 40 menit pertama, Tjandra memamerkan foto-foto hitam putih dari projek “Kampung Ane” yang ia buat di tahun 1996 - 2000. Projek foto tersebut tak lain menceritakan kampung tempat tinggalnya di daerah Pasar Kenari, Jakarta. Dalam projek tersebut, ia mendokumentasikan kehidupan sehari-hari warga penghuni kampung di daerah Pasar Kenari.
“Gw mencoba memperkenalkan fotografi di kampung gw,” kata Tjandra.
Dan hal ini ia buktikan dengan memamerkan foto-foto tersebut di kampung tempat ia tinggal. Foto-foto tersebut juga sempat dipamerkan di Pusat Kebudayaan Perancis.
“Dulu gw motret ya motret aja dan ketika mau dipamerin, gw sendiri yg milih foto-fotonya karena belum tahu yang namanya kurator. Tapi hal yang paling menarik adalah, bahwa membuat projek foto itu gak usah jauh-jauh. Mulai aja dari sesuatu yang dekat, simpel, dan kita kenali. Apabila kita peka, kita bisa membuat projek foto yang menarik hanya dari hal-hal kecil,” papar Tjandra.
Puas menikmati foto hitam-putih “Kampung Ane” melalui layar projektor, Tjandra pun berbagi pengalaman dan tantangan lainnya saat ia mengerjakan projek foto tentang grup band SLANK yang dikerjakannya selama 7 tahun (tahun 2000 - 2007). Menjelang akhir sesi, tak lupa Tjandra menyuguhkan beberapa foto berwarna dari projek “My Bike” yang mewakili kecintaannya pada hobi bersepeda.
“Fotografi bisa membuat kita menemukan hal-hal menarik di sekitar kita. Keberuntungan akan selalu menyertai kita selama kita jeli. Yang penting kita tertarik karena semakin kita tertarik, semakin kita dekat dengan subjek itu,” kata Tjandra di hadapan para peserta Kelas PPG. (AWS/foto: Radityo Widiatmojo)
Sesi 10 Kelas PPG: Editing (2) bersama Beawiharta
Hujan deras yang akhir-akhir ini mengguyur kota Jakarta rupanya tidak menyurutkan semangat 10 para peserta PPG untuk tetap datang dan mengikut Sesi 10 Kelas PPG yakni Photo Editing bersama Beawiharta yang kembali hadir untuk kedua kalinya sebagai mentor tamu.
Kesempatan untuk bertemu dan berdiskusi bersama fotografer senior Reuters ini tentunya tidak disia-siakan oleh para peserta. Di sesi Photo Editing II ini, para peserta menunjukkan progress dan beberapa foto terbaru untuk final project photo story masing-masing. Beawiharta bersama dua mentor PPG lainnya, Edy Purnomo dan Ahmad 'DeNy' Salman secara bergantian memantau, menyunting, dan memberikan masukan serta saran untuk setiap peserta.
Setelah melihat progress photo story setiap peserta, menurut Edy sudah ada beberapa kemajuan dari hasil karya para peserta, salah satunya mulai terlihat bentuk dan karakter photo story masing-masing. Namun di satu sisi, Edy juga mengajak para fotografer untuk pelan-pelan coba meninggalkan memotret di wilayah aman agar membuka peluang untuk mendapatkan foto-foto yang lebih bagus namun berkarakter.
Masih menurut Edy, beberapa hal penting lainnya yang perlu diingat dalam membangun sebuah photo story yakni perlunya detail dan bridge penyambung yang secara tidak langsung bisa menjadi penghubung yang mewakili subjek atau karakter dalam photo story yang akan diangkat.
“Detail atau bridge penghubung itu perlu, bukan sekadar menampilkan hal-hal yang bersifat informatif tapo juga mewakilik karakter si subjek tanpa harus menampilkan si subjek itu sendiri di dalam foto,” kata Edy.
Tidak jauh berbeda dengan Edy, menurut Beawiharta secara teknis dan pemilihan cerita serta isu yang akan diangkat sudah cukup bagus. Hanya saja tantangan terbesar yang dihadapi para peserta kelas PPG adalah agar tidak terjebak hanya menampilkan foto yang bagus-bagus saja.
“Sebagai fotografer dan visual story teller, kalian jangan sekadar terjebak menghasilkan foto bagus dimana saat era digital ini semua orang bisa memotret dan menghasilkan foto bagus. Tantangannya justru bagaimana menghasilkan foto yang memiliki kekuatan secara emosi dan kedekatan dengan si subjek,” kata Beawiharta.
“Foto kalian harus jadi foto yang positif, dalam artian ketika orang-orang melihat foto-foto kalian, ada ikatan emosional dan timbul pemahaman baru serta kesadaran baru akan isu dan story yang kalian sampaikan dalam photo story kalian,” kata Beawiharta menyemangati para peserta saat mengakhiri sesi Photo Editing II. (AWS)
Sesi 9 Kelas PPG: Visual Literacy (part 2)
Setelah minggu lalu mendapatkan materi berupa teori dasar Visual Literacy, di Sesi 9 Kelas PPG yang berlangsung pada hari Selasa (12/11), para peserta kembali diajak bermain-main dengan teori dan mendiskusikan berbagai foto untuk lebih memahami dan mendalami Visual Literacy.
Selama 30 menit pertama, Ahmad 'DeNy' Salman yang menjadi mentor di sesi Visual Literacy II, mengulang sekilas beberapa materi yang sebelumnya telah diberikan. Seperti Foreground & Background dalam fotografi serta Prinsip-prinsip dalam Teori Gestalt. Tak lama setelah itu, peserta diajak mendiskusikan beberapa foto dari kacamata prinsip-prinsip dalam Gestalt.
Pada sesi kelas yang berlangsung selama kurang lebih 3 jam ini, mentor menyampaikan materi kepada para peserta bahwasanya image atau foto selalu berkomunikasi di dua level, yakni Editorial Level (5W + 1H) dan Visual Level (The body language of the picture). Namun menurut Deny, tantangan terbesar bagi sorang fotografer adalah mampu menciptakan karya foto yang memiliki kekuatan dan karakter tersendiri di wilayah Visual Level yang tentunya menuntut kejelian dan wawasan seorang fotografer.
“Tahap Visual Level adalah tahap yang cukup penting terutama saat memasuki proses editing. Karena itu, menjadi penting bagi seorang fotografer untuk memperkaya referensi visual agar tidak terbatas pada pilihan-pilihan,” ujar Deny.
Untuk melengkapi pemahaman para peserta akan Visual Literacy, beberapa materi lain yang juga disampaikan antara lain tentang detail, cropping, arah, stability dalam foto, dll. Hampir seluruh peserta tampak sangat menikmati proses 'membaca' foto sekaligus mempraktekkannya saat 'membaca' foto karya masing-masing dan foto karya sesama peserta kelas PPG.
“Agak pusing sih dengan teori-teorinya, tapi setelah itu mulai penasaran dan membangun kesadaran untuk mempraktekkan dan coba memotret berdasarkan teori Visual Literacy,” kata Fikri Adin, salah satu peserta kelas PPG asal Purwokerto.
Menurut Fikri yang saat ini bekerja sebagai fotografer Harian Pagi Satelit Post, dengan mengenal dan memahami Visual Literacy, seorang fotografer bisa bermain-main dengan persepsi penikmat foto yang melihat karya kita. Lebih lanjut Fikri menambahkan, “Bukan cuma bermain-main dengan imaji dan persepsi saja, tapi secara tidak langsung kita juga meningkatkan kualitas foto kita.” (AWS)
Sesi 8 Kelas PPG: Visual Literacy (part 1)
“Coba kalian tebak, menurut kalian kira-kira ini foto apa?” tanya Edi Purnomo saat menunjukkan salah satu foto melalui proyektor di hadapan para peserta kelas PPG.
“Kepala banteng...”
“Kyak jok sepeda...”
“Hanger (gantungan baju)..”
“Stang sepeda....”
Jawaban yang terlontar ternyata cukup beragam ketika mereka mencoba menerka foto Buffalo karya Pablo Picasso. Mentor sengaja menunjukkan foto yang mengundang interpretasi berbeda dengan tujuan tidak lain untuk menyampaikan bahwa setiap orang memiliki visual memori yang terekam dalam benaknya. Dengan 'rekaman' visual memori yang berbeda tersebut pada akhirnya menimbulkan persepsi pada setiap orang tidak akan selalu sama.
“Pada dasarnya, visual literacy bermain dengan persepsi kita. Bahwa apa yang kita lihat itu sebetulnya tidak sama dengan apa yang ada di persepsi kita,” ujar Edi saat menyampaikan materi dasar tentang Visual Literacy pada Jumat (8/11), di kelas PPG di PermataBank Tower, Jakarta.
“Visual Literacy adalah kemampuan untuk mengerti atau memahami dalam memproduksi karya visual,” kata mentor menambahkan.
Selain membahas beberapa foto yang dibedah melalui kacamata visual literacy, para peserta kelas PPG juga diperkenalkan dengan teori Figure - Background dan Prinsip-Prinsip dalam Teori Gestalt. Seperti Proximity (Kedekatan), Similarity (Kesamaan), Continuity (Kesinambungan), dan Closure (Penutup).
Memasuki sesi kedua, Edi bersama mentor lainnya, Ahmad 'Deny' Salman, mengajak para peserta untuk berlatih ‘membaca’ foto dengan mempraktekan Teori Gestalt yang baru saja mereka pelajari. Setiap peserta membawa hasil karya masing-masing dan mencoba menjelaskannya berdasarkan prinsip-prinsip dalam Gestalt.
“Dengan mengenal dan mempelajari visual literacy, fotografer sebagai seorang story teller, harus bisa mengontrol efek apa yang ingin Anda hasilkan ke pembaca,” kata Ahmad 'Deny' Salman. Diskusi kelas juga semakin ramai dengan hadirnya salah satu alumni peserta PPG 2012 tahun lalu, yakni Fernando Randy. (AWS/foto: Radityo Widiatmojo)