Sesi 10 Kelas PPG: Editing 3
Ada yang istimewa di Sesi ke-10 Kelas PPG kali ini. Di sesi editing yang berlangsung para hari Jumat, 8 Januari 2016, para peserta tak hanya didampingi oleh para mentor dan co-mentor, namun turut hadir pula Ibu Leila Djafaar (EVP-Head Corporate Affairs PermataBank), Pak Michael Rauner (Direktur Erasmus Huis), dan Riva Setiawan (Direktur PannaFoto Institute).
Bersama para mentor dan co-mentor, Ibu Leila dan Pak Michael melihat progress photo story para peserta. Terkadang mereka pun memberikan masukan serta saran setelah melihat photo story setiap peserta. "Cukup menarik dan dari beberapa peserta sudah mulai terlihat progress-nya. Saya sama sekali belum tahu story apa yang mereka kerjakan. Tapi hanya dengan melihat visual, sekuens, dan beberapa foto lainnya, saya sudah bisa 'menangkap' tema story masing-masing dan beberapa sudah terasa emosinya," tutur Ibu Leila setelah melihat photo story para peserta.
Menurut Pak Michael, sesi editing dalam pengerjaan photo story sangatlah krusia karena fotografer harus menyajikan story yang akan dibuat sepadat dan seringkas mungkin dan setidaknya bisa dipahami dan dinikmati oleh public. Mengenai tema "Intagible Heritage" untuk PPG tahun ini, ia mengungkapkan, "It's very interesting and also challenging. After seeing the participant's stories, I'm more interested to know how Indonesian photographers interpret heritage based on their perspectives as I'm European also have different perspective about heritage."
Di akhir kelas, suasana kelas di lantai 21 WTC II, PermataTower, Jakarta, kian meriah karena di sesi ini terpilih tiga peserta workshop yang menurut para mentor dan co-mentor memberikan progress untuk pengerjaan photo story-nya. Ketiga peserta tersebut adalah Dwi Prasetya (fotografer Bisnis Indonesia), M Agung Rajasa (fotografer Antara Foto), dan Hendra Agus Setyawan (fotografer KOMPAS). Ketiganya menerima kenang-kenangan yang masing-masing diserahkan oleh Ibu Leila Djafaar, Pak Michael Rauner , dan Riva Setiawan. (OKKY/ foto: Hanggi Tyo)
FEATURE: Seulas Senyuman di Batas Waktu
“Saya ingin perempuan menjadi lebih sadar dan peduli akan tubuhnya sendiri,” ucap seorang pemuda yang tampil beda dibandingkan orang lain ini. Walaupun ia seorang pria, namun ia memiliki kepedulian yang tinggi terhadap wanita khususnya para pengidap kanker.
Taufan Wijaya namanya, yang mencurahkan pikiran, tenaga, hari dan hatinya untuk mencari tahu lebih dalam mengenai pasien pengidap penyakit kanker di Indonesia selama bertahun-tahun dan akhirnya tergugah untuk terlibat lebih jauh bersama mereka, hingga mengambil mereka sebagai inspirasi salah satu karya fotonya.
Berawal dari pertemuannya dengan penyintas (survivor) pengidap kanker yang menurutnya istimewa, ia kemudian tertarik lebih jauh untuk mencari data-data mengenai penderita kanker di Indonesia dan terkejut melihat data penderita kanker serviks (mulut rahim) yang memperlihatkan bahwa sedikitnya ada dua wanita yang meninggal tiap jamnya di Indonesia akibat kanker serviks. Hal ini menginspirasinya untuk mengangkat cerita mengenai pengidap kanker wanita di Indonesia. Tidak mudah perjalanan Taufan untuk mencari narasumber, ia bahkan harus melakukan riset ke kota-kota di pelosok tanah air hingga menengok negara tetangga untuk mengetahui sebaran para pengidap kanker ini. Perjalanan Taufan mengantarkannya pada beberapa penderita yang bersedia berbagi cerita.
Yang menjadi perhatian utama pria yang tengah mengejar gelar master di perguruan tinggi di Filipina ini adalah tingginya angka kematian akibat kanker yang lebih banyak disebabkan oleh ketidaktahuan penderitanya. Banyak di antara mereka yang tidak sadar bahwa penyakit tersebut telah menggerogoti tubuh mereka sejak lama karena enggan melakukan pemeriksaan berkala. Terlebih lagi, ketika sudah divonis demikian, banyak pasien yang tidak mampu membeli paket obat kanker yang begitu mahal.
“Per paketnya bisa mencapai 20 juta rupiah,” katanya. Banyak di antara pasien tersebut yang pada akhirnya terpaksa menjual rumahnya untuk mencukupi kebutuhan berobat. Ironisnya lagi, banyak pasien wanita pengidap kanker yang akhirnya ditinggal oleh pasangannya lantaran merasa tidak mau menjalin hubungan lagi dengan seorang yang sakit-sakitan.
Hal ini tidak hanya dialami oleh wanita yang berasal dari kalangan menengah ke bawah, bahkan juga diderita oleh mereka yang sudah mengenyam pendidikan tinggi. Taufan bercerita bahwa salah satu temannya yang berpendidikan tinggi mengaku takut untuk melakukan pemeriksaan pap smear secara rutin karena tidak mau mengambil resiko mengetahui jika dirinya ternyata mengidap kanker.
Sungguh memprihatinkan melihat pentingnya kepedulian untuk menjaga kesehatan tidak berbanding lurus dengan tingkat pendidikan. Kenyataan miris bahwa banyak wanita Indonesia yang berakhir dengan duduk di kursi roda ataupun terbaring lemas karena terjangkit penyakit ini. Pada akhirnya, putus asa dan depresi kerap menemani hari-hari para pasien ini. Di kala banyak orang berdoa untuk panjang umur, sebaliknya, mereka hanya berharap agar bisa segera menghadap yang Maha Kuasa daripada harus berjuang melawan rasa sakitnya. Suaranya bergetar ketika mengatakan bahwa narasumbernya juga sudah ada yang harus berpulang ke Sang Pencipta.
Kontribusi Kecil yang Amat Berharga bagi Mereka
Berangkat dari sini, Taufan yang memang tertarik terhadap isu kesejahteraan perempuan memutuskan untuk bergabung dengan kelompok peduli (support group) yang memperjuangkan kesadaran tentang kanker, mengingat pada tahun itu kampanye kesadaran tentang bahaya penyakit kanker masih sangat minim. Walaupun ia tidak tergabung sebagai pengurusnya, namun ia terlibat secara aktif untuk mendampingi dan menghibur para pasien, meski ia tidak dapat melayani secara langsung. Hingga kini, ia masih aktif melakukan kontak dengan mereka walau sudah disibukkan dengan kegiatan sehari-harinya yang lain.
Taufan mengakui bahwa terlepas dari semua aktivitas dukungannya, ia merasa kemampuannya untuk berkontribusi secara langsung masih sangat kecil. Menurutnya karena ia berangkat dari latar belakang jurnalis fotografi, ia tidak bisa melakukan banyak hal. Taufan hanya berharap bahwa karya-karya yang ia buat bisa menginspirasi orang lain dan juga meningkatkan kesadaran orang banyak, bahwa perempuan harus sadar penuh akan kesehatannya. Selain melalui event Permata Photojournalist Grant, Taufan juga aktif melakukan pameran foto di Batam, Yogyakarta, dan Bali. Bahkan beberapa karya fotonya ia lelang untuk mendukung komunitas tersebut.
Menghabiskan waktu bersama para penyintas membuat Taufan banyak belajar dari komunitas ini. Begitu banyak pelajaran moral yang tak ternilai yang mungkin tidak bisa ia dapatkan dari orang yang normal. Ia sangat terharu, merasa sangat dihargai ketika ada dari pasien yang bersedia untuk diambil fotonya. Ketika ditanya mengenai subjek foto yang paling berkesan, Taufan memilih untuk mengenang kembali momen salah satu penyintas asal Sulawesi yang sedang dipangku oleh ibunya dan mereka tertawa bersama—sebuah perspektif yang sangat berbeda! Selain itu, ia juga belajar bahwa persamaan nasib menjadikan para penyintas dan pasien penderita membangun jalinan yang begitu kuat. Banyak kelompok pendukung dan sesama pasien yang tanpa pamrih mau membantu pasien lainnya dengan sukarela, misalnya mencarikan akses rumah sakit ataupun akses obat, kenyataan lain yang membuka mata dan mengetuk hati.
Tidak bermuluk-muluk, Taufan hanya ingin angka penderita kanker di Indonesia dapat sedikitnya menurun dengan kontribusi kecilnya ini. Tantangannya masih berat, banyak masyarakat di Indonesia yang hingga kini masih cukup tertutup ataupun takut menghadapi kenyataan yang mungkin terjadi. Salah satu masyarakat tradisional di daerah Bali misalnya. Taufan menemukan bahwa pecalang (aparat keamanan desa adat Bali) daerah tersebut masih memiliki pola pikir pemeriksaan kesehatan wanita secara berkala bukanlah sesuatu yang cukup penting untuk dilakukan sehingga tidak mengindahkan diadakannya kegiatan pemeriksaan walaupun didukung oleh kelompok peduli sekalipun. Dari sini, Taufan berharap bahwa setidaknya pemikiran semacam ini bisa diubah.
Melalui lensa kameranya, Taufan mencoba mengekalkan momen-momen yang fana, melihat dengan mata mereka yang hidupnya menderita karena penyakit yang bagi banyak orang sukar disembuhkan—sering bukan karena mereka tidak mau, melainkan karena tidak mampu. Pelajaran yang didapat Taufan melalui komunitasnya adalah pelajaran bagi kita semua, bagaimana krusialnya kita peduli terhadap sesama kita—seperti kita peduli terhadap diri kita sendiri, khususnya mereka yang hidupnya harus menghitung hari dengan obat-obatan yang harganya sama kejamnya dengan penyakit mereka. Di akhir hari, Taufan berharap dapat menelaah lebih jauh nilai-nilai kehidupan, dan menyadari bahwa ia telah berupaya membuat dunia ini sedikit lebih baik, melalui foto-fotonya yang bercerita pada kita semua. (Theresia/PermataBank)
Keterangan Foto 1 (ki-ka):
01. Seorang penyintas menggunakan pengganjal bra karena telah kehilangan satu payudaranya. (Jakarta)
02. Luka sayat pasien kanker seusai rekonstruksi bentuk payudara. (Yogyakarta)
03. Pengambilan sampel di payudara melalui biopsi. (Batam)
04. Keseharian pasien kanker payudara di rumah singgah. (Jakarta)
05. Penyintas kanker payudara dalam pementasan teater. (Yogyakarta)
Keterangan Foto 2 (ki-ka):
01. Suatu bentuk sel ganas kanker bila dilihat melalui mikroskop. (Batam)
02. Pasien kanker payudara yang mengalami kerontokan rambut sebagai dampak kemoterapi. (Yogyakarta)
03. Biopsi sebagai cara untuk menguji apakah benjolan pada payudara berupa sel ganas. (Batam)
04. Pasien kanker payudara menjalani terapi. (Jakarta)
05. Satu dari sekian rangkaian terapi kanker yang melelahkan adalah penyinaran. (Medan)
Sesi 9 Kelas PPG : Multimedia 2
Dalam memproduksi karya multimedia - entah berupa audio slideshow, video dokumenter, atau sekadar narasi interaktif, sound/audio bisa memperkuat dan memperkaya jalinan cerita atau malah sebaliknya. Dengan persiapan dan pemahaman yang matang, menggabungkan elemen-elemen visual dan beberapa elemen interaktif dengan memanfaatkan medium audio justru bisa dimanfaatkan untuk membangun story.
“Walaupun tidak bermain gambar, mendengarkan audio atau suara-suara tertentu bisa memberikan efek kepada pendengar dan mengajak mereka berimajinasi,” kata Sri Lestari, jurnalis radio dari BBC Indonesia yang didaulat menjadi mentor tamu di Kelas PPG pada hari Selasa (22/12).
Tahun ini merupakan tahun pertama Kelas Permata Photojournalist Grant mengundang jurnalis radio untuk menjadi mentor tamu. Tujuannya tak lain untuk mengajak para peserta untuk memahami peran medium audio dalam membangun story, khususnya untuk pengerjaan karya-karya multimedia.
Menurut perempuan yang akrab disapa Mbak Eci ini, jika foto disandingkan dengan audio, tentunya hal tersebut bisa memperkuat karya visual terutama ditengah perkembangan media sosial yang sangat pesat dan media arus utama yang mengarah ke multimedia. Sepanjang pengamatannya, pengguna media sosial justru tertarik dengan multimedia, dan jika medium foto dan suara dapat disandingkan, hal tersebut akan lebih menarik perhatian mereka.
Selama 3 jam, mentor memaparkan tentang Jurnalisme Radio, bagaimana menulis untuk telinga, bagaimana cara bertutur dan menulis untuk media yang hanya bisa didengar melalui medium audio, serta beberapa tips terkait hal-hal teknis dalam merekam audio/sound maupun menyiapkan dan mengenali alat perekam yang kita miliki.
“Intinya, audio memberi bobot serta konteks pada gambar. Dan tentunya ini juga harus didukung dengan outline dan perencanaan yang matang sebelum ke lapangan,” tutur Sri Lestari di hadapan para peserta.
Perempuan yang telah berprofesi sebagai jurnalis radio selama 14 tahun ini, juga memberikan beberapa contoh multimedia produksi BBC Indonesia maupun BBC global. Diskusi dan saling berbagi ide maupun tips dalam penggarapan audio beberapa karya peserta mengakhiri Sesi Multimedia 2 di Kelas PPG. (OKKY / foto: Tyo)
Sesi 8 Kelas PPG: Editing 2
Sesi 8 kelas PPG yaitu Editing 2 yang berlangsung pada hari Jumat, 18 Desember 2015 di WTC II, Permata Tower dengan mentor Edy Purnomo & Ahmad 'deNy' Salman dan Co Mentor Rosa Pangabean & Yoppy Pieter
Sesi 7 Kelas PPG: Visual Literacy
Belajar memahami foto sebagai bahasa visual dan alat komunikasi merupakan satu hal yang perlu disadari sedini mungkin oleh para fotojurnalis. Pasalnya, hal tersebut tidak hanya memperkaya visual vocabulary seorang fotojurnalis, namun juga memperkaya seorang fotojurnalis dalam memotret atau menyusun frame dengan memanfaatkan elemen-elemen visual.
Setidaknya itulah salah satu materi yang disampaikan oleh Edy Purnomo saat menyampaikan materi Visual Literacy di pertemuan ke-7 Kelas PPG yang berlangsung pada hari Selasa (15/12) di gedung PermataBank, WTC Jakarta. Selama kurang lebih 3 jam, para peserta tidak hanya mempelajari beberapa teori dalam visual literacy, tapi juga sekaligus mempraktekkan bagaimana cara 'membaca' dan menginterpretasikan karya-karya visual maupun foto-foto yang mereka lihat dengan menggunakan 'pisau bedah' yang ada di dalam teori visual literacy.
Definisi Visual Literacy, prinsip-prinsip Teori Gestalt, pemahaman akan teori visual, merupakan beberapa materi yang dipelajari oleh para peserta PPG. Sebagian peserta terlihat antusias karena ini kali pertama mereka mengenal Visual Literacy, dimana mereka mencoba menggabungkan beberapa elemen visual yang ada di dalam foto dan mencoba menginterpretasikan dan membaca pesan dari sebuah karya visual.
“Sebetulnya ini tantangan tersendiri buat para fotojurnalis karena mereka 'ditantang' untuk tidak hanya mampu membuat foto tapi juga 'membaca' foto mereka sendiri agar bisa mengkomunikasikan pesan kepada publik melalui karya-karya mereka,” ujar Edy Purnomo.
Di akhir sesi, sebagai mentor Edy mengingatkan para peserta untuk rajin memperkaya memori visual masing-masing dengan sesering mungkin melihat karya-karya visual, foto, lukisan, membaca komik, atau bahkan hanya sekadar menonton film.
"Sangat disayangkan jika seorang fotografer atau fotojurnalis yang malas mengeksplotasi mata mereka untuk memperkaya memori visual, karena pada akhirnya mereka hanya menjadi seorang fotografer yang miskin memori visual," kata Edy menambahkan. (OKKY / foto: Tyo)
Sesi 6 Kelas PPG: Editing 1
Dalam menyusun photo story (foto bertutur), editing berperan sama pentingnya dengan memotret dan tentunya ini merupakan satu tantangan tersendiri bagi fotografer untuk menjalin keutuhan cerita yang akan disampaikan di dalam photo story yang dikerjakan.
"Sebetulnya kuncinya sederhana saja, yang penting si fotografer tahu kerangka ceritanya dan tahu persis apa yang ingin dia ceritakan," kata Edy Purnomo yang saat itu menjadi mentor di sesi Editing, Jumat (11/12).
Didampingi co-mentor Yoppy Pieter, keduanya membantu membimbing sekaligus berdiskusi dengan para peserta dalam menyusun photo story masing-masing. Beberapa tips juga disampaikan Edi dan Yoppy dalam sesi Editing ini, termasuk bagaimana mengatasi kendala yang kerap terjadi di lapangan, bagaimana menyusun konteks dan membangun premis di dalam cerita, termasuk soal pemilihan lensa dan belajar memahami perbedaan foto-foto tunggal dan foto bertutur (photo story).
"Sesi ini menarik sekaligus menantang banget karena ini baru pertama kali menyusun sequencing photo story secara benar dan profesional. Ternyata proses editing itu seribet ini," kata Rakhmawati La'lang, fotojurnalis perempuan dari harian Republika, Jakarta.
Sebagai satu-satunya fotojurnalis perempuan di Kelas PPG ini, ia pun menambahkan, "Terlepas dari ribetnya menyusun urutan (sequencing) sebuah photo story, hal terpenting yang aku dapatkan dari sesi ini, aku belajar mempertahankan argumentasiku kenapa story ini harus dibuat. Selain itu, baru 'ngeh' bahwa pada akhirnya foto itu untuk dirasakan… bukan sekadar dilihat."
Sebelum menutup kelas, selain terus-menerus mengingatkan peserta untuk melatih dan membiasakan diri melakukan self-editing, Edy juga menekankan pentingnya untuk tidak membatasi diri dan melepaskan diri sebebas mungkin dalam berkarya dan membuat photo story agar cerita yang kita buat lebih personal.
Intinya, tetap menjadi diri sendiri. Challenge yourself and never stop enjoying it. Keep yourself always open and allow yourself to be stimulated by whatever hits you. Sepakat? (OKKY / foto: Tyo)
Sesi 5 Kelas PPG: Caption
Bagi fotojurnalis, menulis caption (keterangan foto) adalah "makanan" sehari-hari. Menulis keterangan foto dengan konsep 5W + 1H seolah sudah menjadi bagian yang tak terlepaskan dari profesi seorang fotojurnalis. Namun dalam pertemuan ke-5 di Kelas PPG yang berlangsung pada hari Selasa (8/12), peserta kelas kembali diajak berpikir sesuatu yang berbeda akan pemahaman tentang caption itu sendiri.
Bersama Sasa Kralj, mentor tamu asal Kroasia yang juga berprofesi sebagai fotojurnalis dan pendidik, peserta diajak membaca dan menganalisis sebuah foto yang sama - dengan dan tanpa caption. Dan yang terpenting lagi adalah bagaimana para peserta memposisikan diri mereka sebagai pembaca dan mampu merasakan transisi perasaan (feeling of transition). Menurut Sasa, caption tidak hanya berfungsi untuk memberikan keterangan pada sebuah foto namun juga memiliki peran dalam menyajikan transisi perasaan (feeling of transition) bagi pembaca.
"The feeling of transition and something unexpected are what we look for in photography. And the caption will give us knowledge," ujar Sasa.
Dalam sesi kelas yang berlangsung secara online ini, selain memberikan beragam contoh dan beberapa pemahaman akan caption, Sasa juga menekankan bahwa peran sebuah foto dan caption masing-masing berbeda, namun keduanya saling berkaitan. Dan hal ini juga ditegaskan oleh Sasa.
"Feeling is the most important part of the picture, but when you see the caption, it's unexpected. So that makes the photo is interesting and makes people or the readers learn something from that."
Di sesi yang berlangsung selam 3 jam ini, peserta juga kembali diingatkan beberapa poin penting dalam membuat caption. Antara lain: New, Interesting, dan Relevance. Pentingnya riset, berpikir out of the box, dan wawancara untuk memberikan perspektif lain dalam menyampaikan informasi yang ada di caption, merupakan beberapa hal tambahan lainnya yang perlu terus-menerus dilatih oleh fotojurnalis.
Mengakhiri kelas, selain membahas lebih detail tentang proposal dan ide photo story yang dibuat oleh para peserta, para peserta juga mendapatkan ilmu tambahan lainnya tentang multimedia, audio caption, dan recording untuk memperkaya materi baik untuk multimedia maupun penulisan caption. (OKKY/ Foto: Tyo)
Sesi 4 Kelas PPG: Riset dan Proposal 1
Kira-kira apa yang terlintas di benak para peserta ketika mendengar kata “Riset” atau “Proposal”
Jawaban yang terlontar dari para peserta pun beragam.
"Penelitian oleh para ilmuwan," jawab Hariandi Hafid, jurnalis foto TEMPO biro Makassar.
"Cari data sebanyak-banyaknya," kata Dwi Prasetya dari Bisnis Indonesia
Lain lagi jawaban Galih Pradipta, fotojurnalis dari harian Media Indonesia
"Penting dan ribet. Risetnya penting, tapi proposalnya ribet," ungkap Galih yang juga peserta termuda di kelas PPG tahun ini.
Bagi beberapa fotografer, melakukan riset dalam pengerjaan photo story sebetulnya bukan hal yang benar-benar baru. Namun satu hal yang menjadi tantangan bagi mereka adalah bagaimana melakukan riset yang benar, seberapa pentingnya peran riset sebelum memotret, dan tentunya bagaimana membuat proposal yang baik untuk mengajukan pengerjaan sebuah photo story.
Karenanya, salah satu materi yang diajarkan di dalam Kelas PPG adalah materi tentang Riset & Proposal yang kedepannya dapat membantu para fotografer untuk lebih menguasai story yang akan mereka kerjakan serta membantu menentukan visual yang akan difoto di lapangan.
"Bagi beberapa fotografer harian yang mempunyai kebiasaan kerja langsung 'jalan' dan memotret, riset mungkin dianggap sesuatu yang menyebalkan. Padahal, justru dengan melakukan riset itulah kita bisa mengurangi waktu yang terbuang karena kita lebih fokus dan sudah tahu apa yang akan kita foto," papar Firman Firdaus, Editor Tulis National Geographic Indonesia, yang hari itu menjadi mentor tamu di kelas PPG pada hari Jumat (4/12).
Di sesi ke-4 Kelas PPG, pria yang akrab disapa Daus ini, juga menjelaskan beberapa tips dalam melakukan riset, jenis-jenis riset, pentingnya menemui nara sumber dari kalangan para ahli atau akademisi atau bahkan sekadar tips untuk menghindari agar story yang akan dikerjakan bukan sekadar sesuatu yang klise.
Setelah melakukan riset, lantas apa langkah selanjutnya? Proposal.
Masih menurut Daus, proposal pada dasarnya adalah panduan agar story yang kita kerjakan tetap fokus sekaligus menjadi 'pegangan' bagi fotografer mengapa karya yang ia kerjakan layak untuk dimuat dan penting bagi publik. Meskipun tidak ada format yang baku, menyertakan data dalam proposal bisa menjadi satu penting untuk memperkuat sebuah proposal.
Unsur "WHY" juga merupakan faktor penting dalam membuat proposal. Selain memperkuat dengan data, fotografer idealnya harus mampu memaparkan visi dan 'the bigger picture' dari karya visual yang akan diajukan.
"Disinilah pentingnya proposal karena fotografer menjadi terlatih untuk mempertahankan argumennya didukung dengan data dan faktor "why" tadi. Jadi dalam membuat story, bukan sekadar menarik menurut versi si fotografer, tapi juga menarik dan memiiki kepentingan bagi publik," kata Daus di hadapan para peserta. (Okky / foto: Tyo)
Sesi 3 Kelas PPG: Multimedia 1
Terlepas dari pentingnya peran teknologi di dalam pengerjaan multimedia, perkembangan multimedia terutama dari sisi fotografi - khususnya foto jurnalistik, mau tak mau menuntut para fotojurnalis untuk mengembangkan kemampuan mereka tak hanya di bidang fotografi namun juga mempelajari medium lain di luar medium yang sehari-hari mereka geluti, salah satunya multimedia.
Tahun ini merupakan tahun ke-2 PPG menyertakan materi multimedia dalam kurikulum program. Masih dengan mentor tamu yang sama, Ramadian Bachtiar, seorang videografer, fotografer, sekaligus salah satu dosen di Swiss German University Serpong, Jakarta, menyampaikan materi tentang Pengantar Multimedia.
Di sesi ke-3 yang berlangsung pada hari Selasa lalu (1/12), mentor tamu yang akrab disapa Rama ini juga banyak berdiskusi dengan ke-10 peserta mengenai perkembangan multimedia saat ini maupun di tempat kerja / surat kabar masing-masing. Di kelas ini, para peserta juga mempelajari berbagai contoh multimedia karya para pemenang World Press Photo untuk kategori Multimedia dengan beragam tema dan isu.
Untuk memperkaya pemahaman para peserta tentang multimedia, para peserta juga mempelajari tentang Medium Decision, memilih story vehicle (kendaraan cerita) yang sesuai dengan projek yang akan dikerjakan, Shot Structure, editing, jenis-jenis sound, tipe-tipe microphone, serta beberapa hal teknis lainnya yang harus diperhatikan dalam pengerjaan karya multimedia. Antara lain seperti pentingnya detail, audio level, noise, miking, dan audio monitoring serta beberapa teori singkat tentang bagaimana mengemas sebuah multimedia yang baik.
Mengenai materi multimedia di dalam program PPG bagi para fotojurnalis ini, ke-10 peserta nantinya juga akan membuat karya multimedia namun tetap memanfaatkan foto sebagai materi utama yang juga bisa dilengkapi dengan video dan audio/sound.
“Bukan hal yang mudah ketika fotografer dituntut untuk membuat karya multimedia. Ini suatu tantangan karena pada dasarnya karya multimedia dikerjakan secara tim/berkelompok,” ujar Rama tentang kelas multimedia ini.
Namun masih menurut Rama, di satu sisi, ini adalah sesuatu hal yang menarik karena materi ini kembali hadir di kelas PPG untuk menangkap perubahan tersebut.
“Tantangannya adalah bagaimana mengajak para peserta untuk kembali memahami naluriah medium komunikasi itu sendiri dan secara sadar memanfaatkannya semaksimal mungkin untuk mengemas story yang ingin mereka sampaikan,” ungkap Ramadian sebelum mengakhiri kelas. (Okky/ Foto: Tyo)
FEATURE: Arung Gelora Pinisi Bersejarah
“Saya seorang Bugis.”
Beginilah percakapan kami diawali. Sosoknya yang berperawakan tegas dan rambut panjang tergerai mungkin lebih cocok menjadi seorang rocker. Menantang arus modernisasi, di sinilah seorang Syamsuddin Ilyas—atau Kang Ilyas, lebih akrabnya, menjadi warna berbeda di antara kita semua. Pria berdarah Bugis ini memilih untuk menjejaki ‘masa lampau’ dengan sesuatu yang akrab dengan asal-usulnya.
Berbagai foto Pelabuhan Sunda Kelapa, sebuah sentra perdagangan maritim penting sejak masa Hindia Belanda, sering menampilkan kapal-kapal bercat putih, dengan lambung yang tajam menjulang ke udara, dengan layar-layar yang terlipat selama bersandar. Ikon Pelabuhan Sunda Kelapa ini adalah ikon masyarakat Bugis—juga ikon Indonesia. Ialah kapal pinisi, kapal gagah perkasa yang dengan tujuh layarnya berani menantang gelora samudera untuk menghubungkan berbagai bagian di seantero Nusantara.
“Tidak, ini bukan kapal pinisi asli,” kisah Ilyas. Ilyas menyoroti berbagai modifikasi terhadap kapal-kapal pinisi modern, termasuk ‘pengawinan silang’ dengan kapal-kapal bermotor agar terbilang lebih efisien jika dibandingkan dengan pemanfaatan aslinya. Rasa penasaran terhadap ‘pergeseran’ sejarah inilah yang memanggil hati Ilyas untuk berhenti sejenak dari profesinya sebagai seorang jurnalis foto, untuk tetap membawa kameranya dan mencoba merasakan—serta menangkap—bagaimana kapal pinisi yang begitu legendaris hidup mengarungi perairan Indonesia.
Tatap matanya berkilau seiring Ilyas menceritakan pengalamannya mengarungi laut luas dengan kapal pinisi. Tidak mudah jalannya memang sampai ia bisa mendapatkan izin untuk menumpang di kapal pinisi—yang aslinya berfungsi sebagai kapal angkut barang. Rekan se-‘kampung halaman’-nya kemudian membawanya bersama menaiki sebuah kapal pinisi yang berangkat dari Pelabuhan Sunda Kelapa.
Jika dikenang kembali, tidak ada yang menjanjikan perjalanan mudah baginya. Badai dan gelombang, hingga masa-masa kapal pinisi tersebut terdampar ... “Wah, nggak main-main itu ombaknya, hingga empat meter tingginya dan masuk ke dalam kapal.” Hebatnya, tidak ada sedikitpun rasa takut melekat pada dirinya, apalagi jika mengingat bahwa perjalanan ini bukannya tanpa risiko untuk nyawa Ilyas. Justru, dengan kameranya, ia semakin bersemangat untuk menangkap kehidupan mereka yang ada di atas kapal ini dalam tangkapan digital.
Tidak berhenti sampai di situ, perjalanan ini berbekas secara pribadi bagi Ilyas. Terutama, sambil ia mengingat penelusuran akan asal-usulnya sebagai seorang Bugis, sambil mencoba melekatkan dirinya—walau sementara—pada sebuah artefak yang identik dengan nama Bugis. “Dari sini saya belajar banyak tentang ketabahan dan kekuatan orang-orang yang melewati hari-harinya sedari muda di atas kapal pinisi ini,” kenangnya.
Komunitas Sunda Kelapa Heritage
Kapal pinisi memang mungkin bukanlah obyek yang akan terlintas dalam pikiran Anda ketika Anda memikirkan sesuatu yang khas Indonesia atau bersejarah. Warisan budaya ini terus tergerus modernisasi dan hilang seiring berjalannya waktu. Walau demikian, tidak semua orang ingin kapal layar megah ini tenggelam dari benak masyarakat begitu saja. Adalah Komunitas Sunda Kelapa Heritage (SKH), tonggak sekaligus pionir untuk membawa sosok kapal pinisi menjadi akrab di tengah masyarakat umum. Rasa penasaran Ilyas membawanya untuk bergabung dalam komunitas pencinta sejarah ini. Sayangnya, gaung akan komunitas luar biasa ini terbilang terlambat datang, karena mitra yang tepat masih dalam pencarian. Ilyas, melalui hasil jepretannya di atas kapal pinisi, menjadi motor penggerak dukungan dari banyak mitra yang begitu bersemangat melihat eksposur kapal pinisi yang pernah ditungganginya.
SKH yang kini telah memulai kegiatan aktifnya untuk memromosikan peranan Pelabuhan Sunda Kelapa dan kapal pinisi, serta memberikan perhatian khusus pula pada pengembangan dan penanaman pengetahuan akan tempat ini kepada anak-anak yang berada di sekitar Pelabuhan dan lingkar utamanya. Hal ini termanifestasi pada wacana untuk membuat museum terapung yang rangkanya merupakan kapal pinisi. Melalui karya Ilyas pulalah dapat dilihat bagaimana kapal pinisi memiliki pesonanya tersendiri, terutama bagi masyarakat Bugis yang telah melaut secara turun-temurun selama ratusan tahun. Tidak sekedar fisik kapal pinisi yang sangat khas yang diekspos, namun juga tokoh-tokoh yang ada di belakangnya.
“Saya ingin melihat satu siklus kapal pinisi, mulai dari dibuatnya,” ujar Ilyas dengan penuh semangat. Usai merasakan perjalanan penuh badai bersama kapal pinisi, baginya sangat alami jika ia ingin mencoba menengok daur hidup salah satu kapal pinisi. “Setelah itu, saya ingin banyak orang tahu mengenai kapal pinisi, dengan membuat museum dan perpustakaan mengenai kapal pinisi.”
Ilyas adalah seorang sosok penting dan unik di balik inisiatif SKH melestarikan kapal pinisi, salah satu aset historis bangsa yang tidak ada duanya. Tidak berhenti pada kepeduliannya melestarikan kebudayaan sukunya sendiri, ia juga memiliki kesadaran yang tinggi akan pendidikan dini bagi generasi muda. “Sayang banget lihat anak-anak zaman sekarang, jarang ada yang tahu kapal pinisi itu apa,” ucapnya dengan nada prihatin.
Pada akhirnya, melalui bidik lensa kameranya, Ilyas telah menjadi manusia Indonesia yang sesungguhnya. Mungkin dari berbagai keragaman budaya dan sejarah yang dimiliki bangsa Indonesia, Ilyas hanyalah satu representasi kecil dari lautan yang maha luas. Namun, seperti keberanian kapal pinisi mengarungi ombak adalah cerminan dari kerja keras Ilyas, bersama SKH, untuk mencegah kapal pinisi hilang dari peradaban. Di tengah masyarakat kita yang terlena dengan barang-barang modern yang tampak lebih menarik di mata, sungguh ironis jika hal-hal yang kita banggakan tersebut kini tergeser menjauhi benak kita. Hanya segelintir orang yang masih memiliki kepedulian dan berniat teguh untuk melestarikan pusaka tanah air kepada generasi yang akan datang. (Theresia/PermataBank)
Syamsudin Ilyas yang berhasil mengajak kapten kapal pinisi Puang Basso ke pameran Permata Photojournalist Grant 2014 merasa senang karena hal ini membuka kesempatan akan tersebarnya kisah SKH dan kapal pinisi ke masyarakat luas.
Sesi 2 Kelas PPG: Understanding Photo Story 1
“Apa sih photo story itu?”
“Apa bedanya single photo dengan photo story?”
“Mengapa harus lebih dari satu frame untuk membuat photo story?”
Membuka Sesi ke-2 Kelas PPG, pertanyaan-pertanyaan tersebut langsung terlontar dari Edy Purnomo yang pada saat itu menjadi mentor untuk penyampaian materi “Understanding Photo Story” yang berlangsung pada hari Jumat (27/11) di Gedung PermataBank WTC, Jakarta.
Selama hampir tiga jam, para peserta mempelajari lebih dalam seputar foto bertutur (photo story). Mulai dari bentuk/struktur photo story beserta penjelasan masing-masing, ciri masing-masing bentuk/struktur photo story, cara menyampaikan, elemen-elemen gambar, serta beberapa contoh photo story baik karya fotografer Indonesia maupun fotografer internasional.
Di akhir kelas, para peserta pun diberi tugas untuk dikerjakan secara berkelompok dimana masing-masing mendiskusikan bentuk/struktur photo story dari contoh-contoh photo story yang mereka bawa. Sebelum mengakhiri kelas sesi I, terlepas dari berbagai teori akan photo story yang hari itu mereka terima, sebagai mentor, Edy Purnomo mengingatkan akan pentingnya menentukan bentuk photo story sebelum mulai memotret serta menyajikan perspektif baru.
“Dalam fotografi tidak ada hal yang baru. Semua fotografer bisa saja mengerjakan story yang sama, namun yang menjadi pembeda adalah cara bercerita dan perspektif baru yang ditawarkan si fotografer,” ujar Edy Purnomo saat menutup kelas. (OKKY/ Foto: Elisha Prima)
Sesi 1 : Opening Program PPG 2015 & Workshop Orientation
Memasuki tahun ke-5, Permata Photojournalist Grant secara rutin kembali digelar untuk 10 perwarta foto dari berbagai media di Indonesia, yang terpilih memilih proses seleksi. Menandai resminya pembukaan satu-satunya program beasiswa bagi pewarta foto Indonesia ini, pada hari Selasa, 24 November 2015 lalu diadakan acara pembukaan (Opening Ceremony) yang diselenggarakan di Auditorium Erasmus Huis, Jakarta.
Dalam pembukaan program tersebut, turut hadir Julian Fong (Wakil Direktur Utama PermataBank), Michael Rauner (Direktur Erasmus Huis), Leila Djafaar (EVP-Head Corporate Affairs PermataBank), Sinartus Sosrodjojo (Founder & Advisory Board PannaFoto Institute), dan Catrini Pratihari Kubontubuh (Ketua I Badan Pelestarian Pusaka Indonesia/BPPI). Tak hanya itu saja, acara pembukaan ini juga dihadiri para pewarta foto Indonesia, para alumni PPG, para mentor & mentor tamu PPG, para tamu undangan, dan tentunya ke-10 peserta PPG 2015.
Beberapa hal menarik dari rangkaian acara opening antara lain presentasi foto “Saujana Sumpu” oleh Yoppy Pieter, salah satu alumni PPG 2011 & pemenang Erasmus Huis Fellowship to Amsterdam 2015; dilanjutkan dengan presentasi mengenai heritage oleh Ibu Catrini Pratihari Kubontubuh dari BPPI (adan Pelestarian Pusaka Indonesia).
Masih berkaitan dengan tema Heritage yang tahun ini kembali dipilih sebagai tema PPG 2015, sebelumnya acara pembukaan, ke-10 peserta PPG 2015 telah terlebih dahulu mengikuti Orientasi Kelas Sesi I. Di sesi ini, para peserta mendapatkan pendalaman materi dari Sadian Boonstra mewakili Erasmus Huis, yang menjelaskan lebih luas tentang pengertian Heritage dari berbagai aspek, termasuk dari sisi fotografi. Kelas Sesi I juga diisi materi mengenai Digital Work Flow oleh Bobby Haryanto dari PannaFoto Institute.
Kedepannya, para peserta PPG 2015 ini akan mengikuti kelas secara intensif selama tiga bulan yang nantinya akan diakhiri dengan pameran foto karya ke-10 peserta yang mengerjakan foto bertutur (photo story) sesuai dengan proposal yang diajukan saat workshop. Tentunya program ini memberikan angin segar bagi perkembangan dunia fotojurnalistik dan dokumenter di Indonesia, sementara bagi para pewarta foto yang terpilih, program ini memberikan tantangan baru sekaligus memperkaya kemampuan mereka. Selamat datang, selamat bergabung di kelas Permata Photojournalist Grant 2015, dan selamat berkarya! (Teks & Foto: Elisha Prima)