Sebelum kelas dimulai, Sasa Krlaj sudah membaca satu persatu perkembangan riset para peserta. Namun sayangnya, ia masih belum mampu dikejutkan dengan temuan mereka. Sasa tak menyerah, ia terus mendorong peserta untuk keluar dari kotak pola pikir yang klise.
Sasa langsung membuka kelas dengan melempar pertanyaan pada Muhammad Tohir. Ia merasa perlu menguji seberapa dalam pengetahuan Tohir akan penyandang down syndrome. Mentor asal Kroasia itu masih menangkap bias dalam memandang disabilitas, Tohir, menurut Sasa, masih menggunakan lensa orang non disabilitas untuk memotret orang disabilitas. “Riset yang mendalam harusnya membuat kamu menggunakan kaca mata mereka dalam memandang. Mintalah mereka menujukan kemampuan istimewa mereka, bukan sebaliknya,” jelas Sasa.
Pertanyaan senada juga ia lontarkan pada Muhammad Ihsan, Sasa menguji seberapa mumpuni ia memahami bipolar. Menurutnya, ada satu hal yang terlewat saat psikolog dan dokter jiwa mendiagnosis penyandang bipolar: mereka berfokus pada pasien semata tanpa menarik relasi antara keluarga, “Bisa jadi bipolar bukan produk tunggal tapi turun temurun dari generasi sebelumnya,” tebaknya.
Dari pantikan Sasa, ia ingin agar Ihsan tidak terjebak akan belenggu satu sudut pandang saja. Selain mengasah logika, pemikiran yang senantiasa terbuka pada segala kemungkinan juga membuka ruang imajinasi yang tak terbatas. Ia mengajak Kristi Dwi Utami berkhayal, mungkinkah ikan-ikan yang ditangkap para perempuan nelayan mengabulkan 3 permintaan mereka? Perempuan asal Semarang itu tak menyangka, adegan dalam dongeng itu ternyata masuk akal untuk dielaboraiskan dalam narasi ceritanya. “Ikan-ikan ajaib yang ditangkap perempuan nelayan itu bisa mewujudkan 3 permintaan mereka! Pertama, ikan itu membuat keluarga mereka mendapat penghasilan, mengenyangkan perut keluarga mereka yang lapar dan permintaan lainnya yang mungkin tak disebutkan mereka,” sambung Sasa.
Alih-alih memusingkan kebijakan pemerintah yang belum berpihak pada perempuan sebagai pencari nafkah, dengan pola permainan, Sasa justru mengajak Kristi menelusuri kronologis dari mana asal ikan yang ia makan: dari meja makan – pasar – nelayan – laut.
Dus, Adwit datang dengan membawa kabar gembira, ia bercerita, peliputannya di rimba Celebes menginspirasinya untuk membuat sebuah buku pengetahuan konservasi Anoa untuk anak-anak. Sasa menyambut ide itu sebagai tawaran solusi atas isu konservasi Anoa yang Adwit angkat. “Jangan lupa menyertakan tokoh antagonis dalam cerita. Hal itu bisa memantik imajinasi anak-anak untuk tahu mengapa konservasi hewan langka diperlukan.” Sarannya.
Di luar kelas, Sasa terbuka untuk diajak berdiskusi atau sekadar memberi referensi bacaan untuk memperkaya wawasan para peserta.