Dengan antusias Rosa Panggabean dan kesepuluh peserta PPG XII: Inspiration membuka kelas Photo Story I. Selama tiga jam, Rosa menjelaskan dengan detail teknis sejarah foto cerita hingga teknis fotografi yang patut dikuasai para peserta.
Ibarat menonton film atau membaca buku novel, foto cerita memiliki elemen yang kurang lebih serupa: Pembuka – Isi – Penutup. “Kalian ada yang pernah tahu Life Magazine?” tanya mentor yang akrab disapa Ocha ini pada peserta.
Mereka pun menjawab pernah, sekali membuka situs media ikonik itu atau setidaknya pernah selintas dengar. Dari media itulah, pertama kali kita dikenalkan dengan Life Magazine Formula yang berisi elemen-elemen dalam sebuah foto cerita yakni, pembuka/pengantar, potret, interaksi, penanda utama, detail, dan penutup, imbuh Ocha.
Meski sudah dirancang puluhan tahun lalu, tapi ternyata formula ini masih relevan untuk kita gunakan saat menggarap foto cerita. Pada elemen pembuka, Ocha memaparkan contoh foto yang tepat: membawa pembaca ke lokasi cerita atau tempat si subyek utama kita. “Ibarat sebuah film, one upon a time in the village… kita diajak masuk ke dalam ceritanya,” sambungnya. Subyek yang ia maksud ternyata tak melulu manusia, bisa juga hewan, tumbuhan atau bahkan fenomena. Setelah melihat establish shot latar lingkungan subyek, kita diajak melihat subyek itu sendiri bisa dipotret dengan beragam cara begitu juga dengan interaksi, kita bisa memotret subyek dengan subyek lainnya yang sedang berkomunikasi secara langsung atau tidak. Pada poin interaksi, Adwit Pramono kontan bertanya, “Apakah perlu ada momen interaksi fotografer dengan subyek foto? Misalnya saat subyek senyum ke kamera, itu kan bisa ditangkap sebagai keakraban yang terjalin antara narasumber dengan fotografer?” tanyanya. Ocha menjawab, hal itu tidak perlu karena saat subyek tersenyum misalnya, belum tentu juga ia tersenyum pada fotografer, “Bisa saja ya dia memang mau tersenyum kan?” jawabnya.
Pada poin penanda utama ini perlu diperhatikan, kata Ocha. “Kalau ada konferensi pers pameran kolektif kalian di PPG, kan tidak mungkin kita masukan seluruh foto kalian satu persatu di pres rilis. Cukup ada satu atau dua foto utama yang representatif untuk menjelaskan cerita kalian,” sambungnya.
Terakhir adalah penutup. Sebagai penonton setia sinema, ia mencontohkan pada scene akhir film maka pergerakan kamera membawa kita seolah menjauh dari subyek alias menandakan film segera berakhir. “Ya, kurang lebih logiknya sama,” katanya.
Seperti pernyataan Yoppy Pieter di kelas sebelumnya, jangan remehkan aspek teknis fotografi. Di sesi ini, Ocha menyegarkan ingatan peserta akan Entire, Detail, Frame Angle, dan Time (EDFAT) dalam fotografi. “Apakah kalau kita menerapkan EDFAT lantas kita membuat foto cerita?” lempar Ocha.
“Tidak, itu hanya aspek teknis,” sahut Himawan. Ocha sepakat, EDFAT adalah teknis fotografi yang tidak serta merta membuat kita melakukan foto cerita, “Karena foto cerita itu satu kesatuan dengan teks, tema, dan elemen pembuka – isi – penutup. Kalian harus pahami ini,” tegasnya.
Dalam lima tahun terakhir, setidaknya foto cerita mengalami beberapa perkembangan, di antaranya, visual diary, portofolio, naratif, tipologi, dan essay. Semua bentuk itu punya kekhasan masing-masing yang dapat dipilih fotografer sesuai dengan kenyamanan dan kesesuaian pendekatan visual yang dipilih.
Di akhir kelas, tak lupa Ocha dan Yoppy, juga dibantu Edy Purnomo dan Ng Swan Ti menanyakan progress proposal para peserta. Dari sepuluh orang, setidaknya delapan sudah menemukan subyek inspiratif dan dua lainnya sedang dalam proses.