Selasa, (26/01/2021), pelatihan fotografi, rangkaian program Permata Photojournalist Grant (PPG) 2020 kembali dilaksanakan. Pertemuan kali ini merupakan sesi editing terakhir bersama para mentor PannaFoto Institute sekaligus langkah awal menuju sesi editing yang lebih intensif bersama Jenny Smets, kurator independen dan editor foto, yang rencananya akan berlangsung mulai hari Jumat (28/01).
Teknis dan proses pada kelas editing keempat ini tak jauh berbeda dengan kelas-kelas sebelumnya. Peserta masih dibagi menjadi dua kelompok dalam breakout room yang dibimbing oleh mentor Rosa Panggabean dan Yoppy Pieter. Masing-masing kelompok diberi waktu dua jam lima belas menit untuk melakukan proses editing. Yang membedakan, pada pertemuan ini lebih fokus untuk menyusun dan merapikan dua belas photo sequencing yang materinya telah disampaikan dalam kelas editing ketiga pekan lalu.
Setelah breakout room selesai, seluruh peserta dan mentor bergabung kembali dalam satu room bersama. Di sini setiap peserta melakukan latihan presentasi singkat sambil menampilkan dua belas foto cerita yang telah terpilih. Beberapa koreksi dan komentar pun dilontarkan oleh para mentor. Mereka memberi kritik dan saran agar peserta pandai-pandai memilih kalimat yang diutarakan ketika presentasi.
“Para peserta harus melatih kembali cara berbicara dalam membawakan presentasinya. Peserta harus ‘bercerita’ supaya lebih menarik, bukan menjelaskan,” Ujar Edy Purnomo.
Perjalanan peserta PPG 2020 dalam menyusun proyek foto cerita hampir mendekati tahap akhir, tinggal mematangkan editing dan memikirkan konsep pameran dan multimedia.
Di akhir pertemuan ini, para mentor meminta para peserta membagikan kesannya selama mengikuti rangkaian kelas PPG 2020, terutama dalam kelas editing.
“Ini kan kita sudah hampir mendekati proses akhir dan setelah ini editing bersama Jenny. Saya ingin tahu pendapat kawan-kawan, dari seluruh proses editing di PPG ini, kira-kira apa yang kawan-kawan dapatkan?” Tanya Edy Purnomo.
Nopri Ismi, pewarta foto Mongabay Indonesia, mengungkapkan bahwa dengan adanya kelas ini ia jadi terpicu untuk membuat cerita visual yang lain. Menurutnya, di kelas PPG, peserta diberi kebebasan dalam membangun cerita visual dan pengalaman ini berbeda jika dibandingkan ketika bekerja di industri media.
“Kebebasan, dalam artian apa yang ingin kita bentuk atau apa yang ingin kita sampaikan, mentor juga memiliki satu pengertian yang sama. Jadi lebih nyambung dan enak,” tambah Nopri.
Selain Nopri, ada Thoudy Badai Rifanbillah, pewarta foto Republika, yang turut membagikan kesannya terkait pengalaman mengikuti rangkaian program PPG ini.
“Kalau aku, sih, jadi banyak ilmu yang didapatkan, meskipun online. Mungkin hambatannya datang dari pribadi, ada perbedaan antara ngobrol secara online dan offline. Kalau offline, kan, kadang-kadang ada pertanyaan yang lahir dari obrolan biasa, sementara komunikasi lewat online rasanya masih agak kaku. Tapi, untuk materi-materi yang didapatkan sangat membuka mata, sih, bagaimana cara-cara bertutur lewat visual,” ujar Thoudy.
Johannes P. Christo, Pewarta Foto Lepas dari Denpasar, mengaku bahwa ada pengetahuan-pengetahuan yang sudah diketahui tetapi ia tinggalkan dan tak dieksplorasi lebih jauh.
“Akhirnya, di PPG ini banyak hal baru yang tentunya akan menjadi bahan dan landasan saya dalam berkarya ke depannya,” tutur Johannes.
Sebagai penutup pertemuan, Ng Swan Ti, Managing Director PannaFoto Institute, mewanti-wanti agar peserta tak berhenti berlatih dan berkarya setelah program PPG ini rampung. Peserta yang sudah intensif menempuh kelas PPG selama tiga bulan tidaklah otomatis menjadikan dirinya fotografer yang hebat. Tanpa latihan, ilmu yang didapatkan akan sia-sia. Dengan berlatih secara mandiri, Swan Ti berharap, kemampuan peserta PPG sudah naik level jika suatu hari nanti muncul peluang baru yang bisa menunjang impian maupun karier.
“Jadi, PPG ini sebetulnya bukan akhir, justru merupakan awal perjalanan untuk mengembangkan kemampuan kalian,” kata Swan Ti. // Rizka Khaerunnisa