Pertemuan ketiga program Permata Photojournalist Grant (PPG) 2021 digelar di ruang virtual dengan tajuk Developing Your Project: Make It Personal & Matter, jumat (4/2/2022). Mentor Yoppy Pieter (Fotografer Lepas dan alumni PPG 2011) membuka kelas dengan mengajukan berbagai pertanyaan,
“Kenapa proyek kita harus menjadi sesuatu yang personal dan otentik?
Kenapa cerita kita penting untuk diceritakan?
Kenapa pula cerita kita harus penting? Kenapa cerita kita harus memiliki relasi yang kuat dengan kita?”
Rentetan pertanyaan tersebut senjaga ditembakan Yoppy untuk memantik peserta agar dapat membayangkan proses yang harus dilalui dalam proyek foto. Dalam pemaparannya, Yoppy memberikan beberapa poin dari Kenneth Kobre dalam Photojournalism, The Professional Approach. Pertama, pentingnya ada ide dan tema yang kuat untuk diceritakan,”Sebaiknya proyek tidak dimulai dari ide bentuk visual, pikirkan terlebih dahulu ide dan tema yang kuat untuk diceritakan,” paparnya. Memotret dengan bentuk visual di benak bahkan sebelum tema cerita matang, cenderung menghasilkan proyek yang berantakan dan membatasi gerak eksploratif yang seharusnya dilakukan.
Kedua, Yoppy mengingatkan peserta untuk memiliki jawaban personal atas pertanyaan “Mengapa kamu orang yang tepat untuk mengerjakan proyek ini?”
Poin ketiga, peserta perlu mencari relevansi proyek dengan topik yang sedang berkembang di masyarakat. Meski tema cerita merupakan isu domestik dan personal, perlu ditelisik lebih dalam aspek apa yang bisa diangkat untuk memperkuat cerita, serta membuatnya terhubung dengan realitas sosial yang lebih luas.
Dalam poin keempat, Yoppy menekankan aspek standar teknis fotografi yang wajib dikuasai sebelum membuat proyek foto. Konsistensi dalam hal teknik fotografi dan modus visual berperan besar dalam membentuk nuansa cerita foto. Nuansa visual yang diaplikasikan secara tepat dalam sebuah cerita berpotensi untuk menggerakkan emosi seseorang yang melihatnya nanti. Di poin kelima, penyusunan cerita akan berakhir di proses Editing. Proses ini mencakup post processing, bentuk narasi visual dan sequence. Semuanya diperlukan dalam mendukung ide dan tema.
Di sesi selanjutnya, Yoppy memaparkan tentang metode Mind Mapping. Metode ini perlu dilakukan untuk mengukur pemahaman cerita dan isu dalam sebuah proyek visual storytelling, melalui pendekatan flowchart dan mengatur informasi secara visual. Metode ini juga dikenal sebagai diagram laba-laba, disusun dengan membentuk ide sentral yang dikelilingi oleh cabang subtopik. Cabang-cabang tersebut menghasilkan sub-cabang berupa kata dan frasa pendek yang terkait dengan sub-topik.
Mind Mapping bukanlah daftar frame yang akan difoto, namun lebih kepada metode dalam memahami suatu masalah menggunakan pertanyaan-pertanyaan kritis. Melalui daftar pertanyaan kritis tersebut, kita akan diarahkan untuk memotret yang terlihat (seen) dan sesuatu yang tidak terlihat (unseen).
“Kita cenderung melihat sebuah cerita hanya dari lapisan A (seen), padahal kita harus menceritakan juga hal-hal yang berada di lapisan terbawah (layer B, unseen) untuk mendapatkan cerita yang jernih.” Untuk mengeksplorasi layer B, dibutuhkan pemahaman mendalam terhadap isu yang akan diceritakan. Perlu spirit investigatif untuk menemukan tidak hanya fenomena, namun juga perasaan, emosi dan filosofi dari subjek yang akan dipotret.
Menurut Yoppy, Mind Mapping juga bermanfaat sebagai, 1) membantu mengingat informasi karena konsep dan data yang kompleks dapat ditampilkan dengan sederhana lewat bentuk, warna, kata dan gambar; 2) mendorong praktik creative thinking dengan melihat konsep sentral dari berbagai sudut yang berbeda, yang pada gilirannya dapat melahirkan ide-ide baru; 3) menguraikan masalah kompleks ke dalam komponen solutif untuk merespons suatu kasus. Memusatkan masalah ke topik utama kemudian meluaskannya ke luar dapat mempermudah proses analisis secara terstruktur.
Kemudian Yoppy memperinci tiga lapisan dalam Mind Mapping, 1) lapisan ‘Cerita Utama’ sebagai lapisan pokok dalam flowchart yang ditempatkan sebagai sumber cabang-cabang pembantu. Di lapisan ini, fotografer diharapkan sudah memiliki “protagonis”/tokoh utama dalam proyeknya. Protagonis tidak sebatas manusia, dia bisa juga berupa benda atau fenomena; 2) lapisan ‘Mengapa’ sebagai ranah fotografer mempertanyakan kembali tentang pentingnya proyek yang akan dibuat, dan landasan apa saja yang menjadi pondasi munculnya gagasan di lapisan “Cerita Utama”; 3) lapisan ‘Pertanyaan’ berisi daftar pertanyaan kritis yang merujuk pada lapisan ‘Mengapa’ dan nantinya akan dijawab melalui visual atau data.
Pertanyaan memiliki kekuatan investigatif dan menjadi upaya fotografer untuk mengkaji: riset apa yang harus dilakukan, siapa narasumber yang akan ditemui, dan mengumpulkan informasi-informasi penting yang baru. Melalui pertanyaan-pertanyaan kritis, fotografer akan memiliki fleksibilitas dalam memotret tanpa harus kebingungan “Saya motret apa lagi ya?”.
Sebelum menutup presentasinya, Yoppy memperlihatkan Mind mapping karya personalnya yang berjudul Trans Woman: Between Colour and Voice yang memperlihatkan headline dan cabang-cabang berisi informasi dan data yang ia dapat dari risetnya.
Usai pemaparan materi dari Yoppy Pieter, peserta terbagi dalam dua ruang breakroom untuk mempresentasikan hasil Mind Mapping yang mereka buat. Bersama mentor kelompok masing-masing, kesepuluh perseta dipandu untuk meluruskan keruwetan data riset dan observasi melalui metode Mind Mapping.
“Kembangkan ketertarikan lebih pada isu cerita. Sehingga pertanyaan yang mencuat tidak normatif dan berputar di situ-situ saja. Ciptakan lebih banyak pertanyaan dan gali lebih banyak informasi.” pungkas Rosa Panggabean, rekan sesama mentor menutup pelatihan.