Rangkaian foto dalam sebuah photo story tidak akan memiliki arti jika tidak dilengkapi caption dan riset yang kuat. Bukan tidak mungkin story yang dihasilkan akan terlihat kurang berbobot, repetitif, membosankan dan menjadi linier. Lagi-lagi dengan riset yang kuat disertai kemampuan menulis caption berisi detail informasi, fotografer mampu menyampaikan pesan yang akan disampaikan melalui ‘story’ dalam foto-fotonya. Poin-poin tersebut kembali ditekankan Sasa Kralj, fotografer asal Kroasia, yang kembali hadir sebagai mentor tamu di Sesi 13 pada hari Jumat (29/11) lalu di Kelas PPG, PermataBank Tower, Jakarta.
“Story has to be researched and discovered and told through motives. It is the WHY part of the caption that gives us story and its relevance,” kata Sasa.
Lewat aplikasi online Skype, Sasa me-review photo story setiap peserta dan memberikan feedback. Berdasarkan pengalamannya, sesekali Sasa juga memberikan tips bagaimana menggarap sebuah ide untuk photo story hingga mampu menghasilkan in-depth photo story. Masih menurut Sasa, sebagai seorang fotojurnalis sangatlah penting mewawancarai narasumber, berbicara dengan para ahli di bidangnya, ke LSM atau NGO terkait projek foto yang dikerjakan agar fotografer mengetahui detail permasalahan, latar belakang serta relevansinya.
Meski terkesan rumit tapi sesi ini sangat bermanfaat bagi para peserta Kelas PPG.
“Sesi yang sangat menarik karena terkadang fotografer luput akan pemberian caption dan hanya mencantumkan judul, padahal judul tidak memberikan informasi yang detail sehingga memungkinkan pembaca atau orang yang melihat foto kita jadi berasumsi dan berpikir kemana-kemana dan menimbulkan cerita yang berbeda,” kata Prayogi, fotografer Republika yang terpilih menjadi salah satu peserta PPG 2013.
Di satu sisi, adanya caption sangatlah penting bagi editor foto karena memudahkan seorang editor untuk mengetahui alur cerita dan inti permasalahan sehingga memudahkan editor maupun fotografer itu sendiri saat proses photo editing. Menurut Sasa, editing adalah konsekuensi langsung bagi editor atas pemahaman sebuah story.
Di Sesi yang berlangsung selama kurang lebih tiga jam, Sasa juga menyarankan untuk mulai menggunakan fasilitas recorder dan merekam beberapa pembicaraan. Lantaran dari hasil photo story para peserta, beberapa diantaranya cukup potensial untuk dibuat multimedia dengan kombinasi audio dan foto. Hal lain yang ditekankan oleh Sasa selama menyampaikan materi adalah bahwasanya fotojurnalis adalah gabungan antara FOTO dan JURNALIS. Sehingga fotografer jangan hanya terjebak pada kemampuan menghasilkan foto-foto semata, tapi juga harus tetap mengasah kepekaan sebagai seorang jurnalis.
“I would like you to discover the story. So learn something new… something that you don’t know and something that you can teach us,” pesan Sasa. (AWS/foto: Radityo Widiatmojo)