“Saya ingin perempuan menjadi lebih sadar dan peduli akan tubuhnya sendiri,” ucap seorang pemuda yang tampil beda dibandingkan orang lain ini. Walaupun ia seorang pria, namun ia memiliki kepedulian yang tinggi terhadap wanita khususnya para pengidap kanker.
Taufan Wijaya namanya, yang mencurahkan pikiran, tenaga, hari dan hatinya untuk mencari tahu lebih dalam mengenai pasien pengidap penyakit kanker di Indonesia selama bertahun-tahun dan akhirnya tergugah untuk terlibat lebih jauh bersama mereka, hingga mengambil mereka sebagai inspirasi salah satu karya fotonya.
Berawal dari pertemuannya dengan penyintas (survivor) pengidap kanker yang menurutnya istimewa, ia kemudian tertarik lebih jauh untuk mencari data-data mengenai penderita kanker di Indonesia dan terkejut melihat data penderita kanker serviks (mulut rahim) yang memperlihatkan bahwa sedikitnya ada dua wanita yang meninggal tiap jamnya di Indonesia akibat kanker serviks. Hal ini menginspirasinya untuk mengangkat cerita mengenai pengidap kanker wanita di Indonesia. Tidak mudah perjalanan Taufan untuk mencari narasumber, ia bahkan harus melakukan riset ke kota-kota di pelosok tanah air hingga menengok negara tetangga untuk mengetahui sebaran para pengidap kanker ini. Perjalanan Taufan mengantarkannya pada beberapa penderita yang bersedia berbagi cerita.
Yang menjadi perhatian utama pria yang tengah mengejar gelar master di perguruan tinggi di Filipina ini adalah tingginya angka kematian akibat kanker yang lebih banyak disebabkan oleh ketidaktahuan penderitanya. Banyak di antara mereka yang tidak sadar bahwa penyakit tersebut telah menggerogoti tubuh mereka sejak lama karena enggan melakukan pemeriksaan berkala. Terlebih lagi, ketika sudah divonis demikian, banyak pasien yang tidak mampu membeli paket obat kanker yang begitu mahal.
“Per paketnya bisa mencapai 20 juta rupiah,” katanya. Banyak di antara pasien tersebut yang pada akhirnya terpaksa menjual rumahnya untuk mencukupi kebutuhan berobat. Ironisnya lagi, banyak pasien wanita pengidap kanker yang akhirnya ditinggal oleh pasangannya lantaran merasa tidak mau menjalin hubungan lagi dengan seorang yang sakit-sakitan.
Hal ini tidak hanya dialami oleh wanita yang berasal dari kalangan menengah ke bawah, bahkan juga diderita oleh mereka yang sudah mengenyam pendidikan tinggi. Taufan bercerita bahwa salah satu temannya yang berpendidikan tinggi mengaku takut untuk melakukan pemeriksaan pap smear secara rutin karena tidak mau mengambil resiko mengetahui jika dirinya ternyata mengidap kanker.
Sungguh memprihatinkan melihat pentingnya kepedulian untuk menjaga kesehatan tidak berbanding lurus dengan tingkat pendidikan. Kenyataan miris bahwa banyak wanita Indonesia yang berakhir dengan duduk di kursi roda ataupun terbaring lemas karena terjangkit penyakit ini. Pada akhirnya, putus asa dan depresi kerap menemani hari-hari para pasien ini. Di kala banyak orang berdoa untuk panjang umur, sebaliknya, mereka hanya berharap agar bisa segera menghadap yang Maha Kuasa daripada harus berjuang melawan rasa sakitnya. Suaranya bergetar ketika mengatakan bahwa narasumbernya juga sudah ada yang harus berpulang ke Sang Pencipta.
Kontribusi Kecil yang Amat Berharga bagi Mereka
Berangkat dari sini, Taufan yang memang tertarik terhadap isu kesejahteraan perempuan memutuskan untuk bergabung dengan kelompok peduli (support group) yang memperjuangkan kesadaran tentang kanker, mengingat pada tahun itu kampanye kesadaran tentang bahaya penyakit kanker masih sangat minim. Walaupun ia tidak tergabung sebagai pengurusnya, namun ia terlibat secara aktif untuk mendampingi dan menghibur para pasien, meski ia tidak dapat melayani secara langsung. Hingga kini, ia masih aktif melakukan kontak dengan mereka walau sudah disibukkan dengan kegiatan sehari-harinya yang lain.
Taufan mengakui bahwa terlepas dari semua aktivitas dukungannya, ia merasa kemampuannya untuk berkontribusi secara langsung masih sangat kecil. Menurutnya karena ia berangkat dari latar belakang jurnalis fotografi, ia tidak bisa melakukan banyak hal. Taufan hanya berharap bahwa karya-karya yang ia buat bisa menginspirasi orang lain dan juga meningkatkan kesadaran orang banyak, bahwa perempuan harus sadar penuh akan kesehatannya. Selain melalui event Permata Photojournalist Grant, Taufan juga aktif melakukan pameran foto di Batam, Yogyakarta, dan Bali. Bahkan beberapa karya fotonya ia lelang untuk mendukung komunitas tersebut.
Menghabiskan waktu bersama para penyintas membuat Taufan banyak belajar dari komunitas ini. Begitu banyak pelajaran moral yang tak ternilai yang mungkin tidak bisa ia dapatkan dari orang yang normal. Ia sangat terharu, merasa sangat dihargai ketika ada dari pasien yang bersedia untuk diambil fotonya. Ketika ditanya mengenai subjek foto yang paling berkesan, Taufan memilih untuk mengenang kembali momen salah satu penyintas asal Sulawesi yang sedang dipangku oleh ibunya dan mereka tertawa bersama—sebuah perspektif yang sangat berbeda! Selain itu, ia juga belajar bahwa persamaan nasib menjadikan para penyintas dan pasien penderita membangun jalinan yang begitu kuat. Banyak kelompok pendukung dan sesama pasien yang tanpa pamrih mau membantu pasien lainnya dengan sukarela, misalnya mencarikan akses rumah sakit ataupun akses obat, kenyataan lain yang membuka mata dan mengetuk hati.
Tidak bermuluk-muluk, Taufan hanya ingin angka penderita kanker di Indonesia dapat sedikitnya menurun dengan kontribusi kecilnya ini. Tantangannya masih berat, banyak masyarakat di Indonesia yang hingga kini masih cukup tertutup ataupun takut menghadapi kenyataan yang mungkin terjadi. Salah satu masyarakat tradisional di daerah Bali misalnya. Taufan menemukan bahwa pecalang (aparat keamanan desa adat Bali) daerah tersebut masih memiliki pola pikir pemeriksaan kesehatan wanita secara berkala bukanlah sesuatu yang cukup penting untuk dilakukan sehingga tidak mengindahkan diadakannya kegiatan pemeriksaan walaupun didukung oleh kelompok peduli sekalipun. Dari sini, Taufan berharap bahwa setidaknya pemikiran semacam ini bisa diubah.
Melalui lensa kameranya, Taufan mencoba mengekalkan momen-momen yang fana, melihat dengan mata mereka yang hidupnya menderita karena penyakit yang bagi banyak orang sukar disembuhkan—sering bukan karena mereka tidak mau, melainkan karena tidak mampu. Pelajaran yang didapat Taufan melalui komunitasnya adalah pelajaran bagi kita semua, bagaimana krusialnya kita peduli terhadap sesama kita—seperti kita peduli terhadap diri kita sendiri, khususnya mereka yang hidupnya harus menghitung hari dengan obat-obatan yang harganya sama kejamnya dengan penyakit mereka. Di akhir hari, Taufan berharap dapat menelaah lebih jauh nilai-nilai kehidupan, dan menyadari bahwa ia telah berupaya membuat dunia ini sedikit lebih baik, melalui foto-fotonya yang bercerita pada kita semua. (Theresia/PermataBank)
Keterangan Foto 1 (ki-ka):
01. Seorang penyintas menggunakan pengganjal bra karena telah kehilangan satu payudaranya. (Jakarta)
02. Luka sayat pasien kanker seusai rekonstruksi bentuk payudara. (Yogyakarta)
03. Pengambilan sampel di payudara melalui biopsi. (Batam)
04. Keseharian pasien kanker payudara di rumah singgah. (Jakarta)
05. Penyintas kanker payudara dalam pementasan teater. (Yogyakarta)
Keterangan Foto 2 (ki-ka):
01. Suatu bentuk sel ganas kanker bila dilihat melalui mikroskop. (Batam)
02. Pasien kanker payudara yang mengalami kerontokan rambut sebagai dampak kemoterapi. (Yogyakarta)
03. Biopsi sebagai cara untuk menguji apakah benjolan pada payudara berupa sel ganas. (Batam)
04. Pasien kanker payudara menjalani terapi. (Jakarta)
05. Satu dari sekian rangkaian terapi kanker yang melelahkan adalah penyinaran. (Medan)