Permata Photojournalist Grant 2021 | Pendaftaran Diperpanjang Hingga 31 Januari 2022
PermataBank x PannaFoto Institute menghadirkan
PERMATA PHOTOJOURNALIST GRANT 2021
Tema: COURAGE
Via Zoom Meeting
Pendaftaran dibuka hingga
31 Januari 2022 pukul 20:00 WIB
Kelas dilaksanakan pada
15 Februari – 12 April 2022
Permata Photojournalist Grant (PPG) kembali hadir secara daring untuk kedua kalinya. Melalui kelas-kelas daring, kami berharap program PPG dapat menjangkau lebih banyak pewarta foto dan pewarta foto lepas di berbagai wilayah di Indonesia.
Pewarta foto dan pewarta foto lepas terpilih akan mendapatkan grant dan pelatihan dengan materi utama photo story dan materi-materi pendukung. Mentor-mentor PannaFoto Institute, Edy Purnomo, Rosa Panggabean, Yoppy Pieter, Sasa Kralj (Kroasia), dan mentor-mentor tamu akan memfasilitasi penerima PPG 2021 menemukan dan mengembangkan gagasan cerita menjadi satu foto cerita (photo story). Kelas-kelas daring akan berlangsung dalam periode 15 Februari-12 April 2022.
Syarat dan ketentuan:
- Terbuka bagi 10 (sepuluh) pewarta foto dan pewarta foto lepas di Indonesia berusia maksimum 38 tahun, bekerja aktif atau kontributor di media cetak dan online.
- Mengirimkan formulir pendaftaran, CV, pas foto, portfolio (foto tunggal dan foto cerita/photo story tema bebas), dan proposal foto cerita tema COURAGE ke info@pannafoto.org paling lambat tanggal 31 Januari 2022, pukul 20.00 WIB.
Informasi dan formulir pendaftaran tersedia di
www.permata-photojournalistgrant.org
(tautan di bawah ini)
Narahubung
Asa
+62 858-8812-7367
info@pannafoto.org
Informasi Permata Photojournalist Grant 2021
Formulir Pendaftaran Permata Photojournalist Grant 2021
Satu Dekade Permata Photojournalist Grant, Luluskan 95 Pewarta Foto dan Luncurkan Kembali Website
PermataBank bersama PannaFoto Institute selenggarakan Permata Photojournalist Grant ke-10 100% secara daring dan menampilkan hasil karya seluruh peserta secara virtual melalui website dengan tampilan terbaru.
Jakarta – Setelah menjalani berbagai sesi daring selama tiga bulan, Permata Photojournalist Grant (PPG) ke-10 akhirnya meluluskan 10 pewarta foto bersamaan dengan peluncuran kembali website PPG (www.permata-photojournalistgrant.org) yang telah diperbaharui. Kegiatan tersebut merupakan bagian dari acara puncak Satu Dekade Permata Photojournalist Grant yang berlangsung pada 7-9 April 2021 dengan Editor’s Talk ‘Peran Editor Masa Kini’ yang menampilkan tiga editor foto ternama (Adek Berry, Dwi Prasetya dan Muhammad Fadli) dan Editor’s Choice ‘Selected Works of PPG 2011-2020” yang menampilkan kurator foto independen internasional Jenny Smets sebagai pembuka.
Sejak dimulainya PPG sebanyak 95 pewarta foto dari 35 media di Indonesia yang telah sukses menyelesaikan program ini, 80 fotografer dari berbagai komunitas telah mengikuti program Training of Trainers dan lebih dari 1,200 peserta telah mengikuti seminar publik yang menjadi rangkaian program ini.
“Kami bersyukur bahkan dengan situasi dan kondisi saat ini, dapat terus menyelenggarakan Permata Photojournalist Grant ke-10 yang berlangsung 100% secara daring. Melalui kerja sama yang baik dengan PannaFoto, program PPG ke-10 dapat mengatasi kendala geografis yang selama ini menjadi kepedulian kami, dan menjangkau lebih banyak pewarta foto dan pewarta foto lepas di berbagai wilayah di Indonesia. Menginjak usia satu dekade PPG menunjukkan konsistensi kami dalam meningkatkan kualitas pewarta foto di Indonesia,” ujar Dhien Tjahajani, Direktur Hukum dan Kepatuhan PermataBank saat memberikan sambutan pada acara puncak Satu Dekade PPG secara daring.
Tema PPG ke-10 adalah Hope atau Harapan, yang dapat ditafsirkan secara optimis, cerita-cerita yang diharapkan dapat menginspirasi pembaca. Namun, peserta dapat juga memilih cerita-cerita dari perspektif lain untuk mengajak pembaca berempati pada subyek yang difoto.
Tahun ini PPG telah meluluskan 10 (sepuluh) pewarta foto yang berasal dari 8 media dan 2 pewarta foto lepas di Indonesia. Mereka merupakan pewarta foto yang berusia maksimum 38 tahun serta bekerja aktif atau kontributor di media cetak dan online. Selama periode November 2020 hingga Februari 2021 mereka telah mendapatkan grant dan berbagai sesi pelatihan secara daring dengan materi utama photo story dan materi-materi pendukung yang akan disampaikan oleh mentor-mentor seperti Sasa Kralj (Kroasia), Jenny Smets (Belanda) kurator independen untuk pameran fotografi dan seni, pengajar, konsultan dan editor foto. Juga turut terlibat program ini beberapa pengajar tetap dari PannaFoto Institute seperti Edy Purnomo, Rosa Panggabean dan Yoppy Pieter serta beberapa alumni PPG lainnya.
Berikut judul karya dan nama peserta:
- Pelita di Tengah Delta – Abriansyah Liberto (Tribun Sumsel – Tribun Network, Palembang).
- Terbatas Seutas Kertas – Andri Widiyanto (Media Indonesia, Jakarta).
- Wish You Were Here – Fanny Kusumawardhani (Pewarta Foto Lepas, Jakarta).
- Lara La Ode – Indra Abriyanto (Harian Rakyat Sulsel, Makassar).
- Mereka Yang Menguasai Pulau – Johannes P. Christo (Pewarta Foto Lepas, Denpasar).
- Lengkung Pelangi – Nita Dian (Tempo, Jakarta).
- Ombak yang Hilang – Nopri Ismi (Mongabay Indonesia, Kab. Bangka Tengah).
- Sekar Kekar – Rifkianto Nugroho (detikcom, Bekasi).
- Metamorfosa – Suci Rahayu (Kompas.com, Malang).
- Senandika Badai – Thoudy Badai Rifanbillah (Republika, Jakarta).
Dalam menyesuaikan dengan keadaan pandemi saat ini, seluruh karya lulusan PPG ke-10 diapresiasi dalam bentuk virtual melalui website PPG yang telah diluncurkan ulang dengan tampilan terbaru. Sebelumnya dalam menyambut acara puncak telah dilaksanakan juga 15 sesi IG Live yang menyiarkan percakapan-percakapan antara penyelenggara, pengurus dan alumni mengenai berbagai topik dalam ekosistem fotografi saat ini.
Untuk melihat seluruh karya alumni PPG selama 10 tahun terakhir dan informasi program kedepannya dapat mengunjungi: www.permata-photojournalistgrant.org.
Unduh siaran pers PPG 2020 - HOPE
Masih Berlanjut! Seri Instagram Live Menuju Satu Dekade Permata Photojournalist Grant
Kami ingin mengucapkan terima kasih kepada teman-teman yang sudah mengikuti rangkaian seri Instagram Live Menuju Satu Dekade Permata Photojournalist Grant (PPG) minggu lalu. Senang sekali dapat bertegur sapa dengan para alumni PPG & ToT dan dengan teman-teman Panna secara virtual.
Keceriaan Menuju Satu Dekade PPG masih akan berlanjut. 2 seri Instagram Live selanjutnya masih akan menghadirkan alumni PPG & ToT dan kepala sekolah PPG. Mereka akan berbagi cerita dari program PPG, kabar dan kesibukan mereka, hingga diskusi tentang fotografi hari ini.
Penasaran? Ikuti perbincangannya pada 24 & 31 Maret 2021 pukul 19:00-21:00 WIB secara live di Instagram PannaFoto. Simak jadwalnya di bawah ini. Sampai jumpa di layar Instagram!
Menuju Satu Dekade Permata Photojournalist Grant
Sepuluh tahun Permata Photojournalist Grant (PPG)! Dalam perjalanannya, kami dipertemukan dengan banyak pihak, serta beragam kesempatan untuk bekerja sama dan berkolaborasi. Pertemuan-pertemuan ini yang membawa PPG terus bergulir hingga angkatan kesepuluh tahun ini. Sebagai apresiasi atas dukungan tiada henti dari mitra, alumni, rekan media, para mentor, dan semua pihak yang telah mendukung PPG, saat ini kami tengah mempersiapkan perayaan perjalanan 10 Tahun PPG dan graduation PPG 2020 “HOPE” yang akan berlangsung pada bulan April 2021. Karena 10 tahun perjalanan ini begitu berarti, kami ingin merayakannya dengan yang juga berarti, yakni rekan-rekan yang telah menjadi bagian program PPG. Terima kasih masih mengiringi perjalanan PPG hingga hari ini.
Menuju Satu Dekade Permata Photojournalist Grant, kami mengundang alumni program PPG dan Training of Trainers (ToT) untuk berjumpa dan berbincang secara virtual melalui Instagram Live.
Saksikan seri IG Live Menuju Satu Dekade Permata Photojournalist Grant pada 17, 18, 19, 24, dan 31 Maret 2021, pukul 19:00-21:00 WIB melalui akun Instagram @pannafoto. Jadwal selengkapnya terdapat dalam poster di bawah ini. Silakan catat tanggalnya atau unduh posternya. Sampai jumpa!
Sesi Berbagi Proses Kreatif Menggarap Karya Multimedia bersama Hafitz Maulana
Rangkaian pelatihan fotografi Permata Photojournalist Grant (PPG) 2020 sampai pada tahap akhir, Selasa, (09/02/2021). Pada pertemuan kali ini, Hafitz Maulana, pewarta foto Tirto.id sekaligus alumni PPG 2019, berbagi mengenai proses kreatifnya selama menggarap karya multimedia. Sebagai informasi, pada pameran foto “Innovation” yang diselenggarakan pada tahun 2020 lalu di galeri Erasmus Huis, Jakarta, Hafitz menyajikan karyanya secara multimedia bertajuk Virtual Insanity: Inside The Life of Pro-Gamer.
Pameran foto karya peserta PPG 2020 rencananya diselenggarakan secara daring. Pada kelas-kelas sebelumnya, peserta memang sudah dibekali pengetahuan teoretis tentang multimedia oleh Saša Kralj. Namun pada sesi kali ini lebih ditujukan untuk berbagi pengalaman teknis saat membuat karya multimedia agar peserta PPG 2020 memperoleh gambaran yang utuh.
“Mungkin hal pertama yang perlu digarisbawahi, pada dasarnya multimedia itu benar-benar lintas medium. Sebetulnya tidak hanya dalam format digital saja ya, tapi bisa dipresentasikan di mana saja dan bentuknya beragam,” tutur Hafitz membuka sesi sharing.
Dalam karyanya tahun lalu, Hafitz bercerita tentang game. Ia menggabungkan foto still dengan audio sehingga menghasilkan efek dan nuansa cerita yang lebih hidup.
“Saya menyebutnya audiophotography, yaitu kombinasi antara dua medium; foto dan audio,” kata Hafitz.
Menurutnya, cara kerja audiophotography mirip seperti film. Hanya saja perbedaannya terletak pada bahan visual utama. Jika pada film, medium utamanya adalah video. Sementara audiophotography, medium utamanya adalah foto still. Sentuhan audio/sound pada karya fotografi akan memberi suasana cerita dan nuansa mood yang lebih hidup.
Secara teknis, mood akan dihasilkan melalui gabungan antara wild track dan transisi. Wild track itu bisa berupa sound effect, narrative audio, SFX, ambient, dan sebagainya. Sementara transisi dapat membantu pergerakan dari satu suara ke suara lain lebih halus (smooth). Transisi ini sangat penting karena berfungsi sebagai jembatan dari suatu cerita.
Selain hal-hal teknis, seorang sound designer harus mampu mengenali karakter audio dari suatu lokasi. “Misalnya, bagaimana sih karakter dari suara aktivitas di pelabuhan antara Makassar dan Jakarta, kedua lokasi tersebut pasti memiliki perbedaan,” ujar Hafitz.
Menurutnya, ada karakter sound endemik atau suara asli yang hanya bisa didapatkan jika kita pergi ke lapangan untuk mengambilnya. Tetapi ada pula karakter sound yang generik, misalnya suara motor dan langkah kaki, yang bisa didapatkan dari bank audio di internet secara gratis.
“Waktu saya mengerjakan proyek foto tentang game itu, saya mengobrol dengan para gamers dan mencari tahu jenis game apa saja yang mereka mainkan. Saya mengambil audio dari suara-suara yang muncul di dalam game-nya. Saya memotong-motong audionya dan berpikir bagaimana caranya agar mendapatkan satu komposisi dan bisa in line dengan photo sequence yang sudah dibentuk,” cerita Hafitz saat mengingat-ingat proses kreatif yang pernah dilakukan.
“Apakah ada kesulitan ketika mengerjakan karya sendiri? Karena karya yang dibuat Hafitz itu hanya ada 10 frame, durasinya sangat pendek,” tanya Rifkianto Nugroho di sela-sela diskusi.
Hafitz bercerita bahwa itulah kesulitan yang pertama kali ia temui. Ia harus menyiasati agar durasi audio/sound yang masuk bisa sejalan dan seirama dengan durasi perpindahan setiap foto still. Akhirnya ia bisa mengatasi hambatan tersebut. Hafitz menambahkan visual effect pada fotonya sehingga bisa sedikit mempengaruhi panjang durasi.
“Cara mengakali tampilan satu frame agar durasinya tampak panjang, berarti harus ada pergerakan. Tipis-tipis saja, tak perlu terlalu banyak efek. Misalnya bisa dengan memanfaatkan efek zoom-in dan zoom-out atau dari terang ke gelap,” terang Hafitz.
Meski hari ini merupakan pertemuan terakhir dari pelatihan fotografi program PPG 2020, masih ada hal-hal lain yang belum tuntas dan perlu dikerjakan peserta. Mereka mulai menggarap presentasi karya multimedia untuk pameran foto daring. Selain itu juga mempersiapkan diri untuk acara graduation PPG 2020 yang akan dilaksanakan bulan depan. // Rizka Khaerunnisa
Hari Ketiga Final Editing bersama Jenny Smets
Jumat, (05/02/2021), merupakan sesi terakhir workshop intensif bersama Jenny Smets, kurator dan editor foto independen dari Belanda. Mekanisme editing masih sama seperti kelas-kelas sebelumnya. Mula-mula peserta menceritakan isi karyanya sambil menayangkan enam puluh foto all selected, lalu menampilkan dua puluh foto pilihan, dilanjutkan dengan memilih dua belas foto sequence versi awal, hingga memutuskan dua belas foto final sequence.
Kini giliran tiga peserta terakhir yang belum mempresentasikan karya. Ketiganya adalah Andri Widiyanto (Media Indonesia, Jakarta) dan Abriansyah Liberto (Tribun Sumsel, Palembang) yang membuat cerita reportase, serta Thoudy Badai Rifanbillah (Republika, Jakarta) yang membuat cerita personal.
Proyek foto yang digarap oleh Andri bercerita tentang seorang anak bernama Sandi yang terancam tak memiliki masa depan karena tidak memiliki akta kelahiran. Dampaknya ia tak bisa merasakan bangku sekolah formal. Bahkan, hanya karena tak punya identitas, ia tak memperoleh penanganan serius saat mengalami insiden kecelakaan yang menyebabkan kakinya pincang permanen. Ditambah keluarganya hidup dalam kemiskinan struktural khas pinggiran kota.
“Saya sangat suka cerita ini, Andri. Anda seolah-olah merasa dekat dengan anak ini, Anda juga bisa paham apa yang tengah terjadi padanya,” tutur Jenny setelah melewati proses diskusi yang cukup alot untuk menyusun dua belas foto sequence.
Sementara itu, cerita reportase yang dibuat oleh Liberto menyoroti kisah seorang guru bernama Siti Komariah yang tetap bertahan mengabdikan dirinya di sebuah sekolah dasar di desa Saluran, sebuah desa berjarak 20 Km dari pusat kota Palembang.
Di tengah keterbatasan fasilitas dan akses jalan menuju sekolah yang buruk, Siti Komariah tak menyerah. Meski hanya mengajar seorang diri, ia tetap setia mendidik siswa dari kelas 1 s.d. 6 yang berjumlah 20 orang. Siti Komariah bukanlah tamatan pendidikan tinggi dan hanya mengajar seorang diri. Upahnya hanya Rp 500.000 per bulan sehingga ia harus melakukan pekerjaan sampingan sebagai petani.
“Kenapa Anda memilih foto hitam-putih dan bukan yang berwarna? Kenapa ini penting?” Tanya Jenny.
Menurut Liberto, ia hendak menonjolkan sisi dramatis pada fotonya. Di desa tersebut, kondisi sumber listrik untuk penerangan tak memadai. Kondisi itulah yang pada akhirnya ia representasikan dalam karyanya dengan memainkan sentuhan kontras cahaya, antara terang dan gelap khas foto hitam-putih.
Terakhir, ada Thoudy yang menampilkan cerita personal dan konseptual. Ia memilih mood warna yang cenderung sendu serta sentuhan efek saturasi dan blurring sebagai representasi dari mimpi dan angan-angan atas ketiadaan sosok ayah dalam hidupnya.
“Cerita foto ini sangat berbeda dengan sebelumnya. Saya tidak mengenali Anda secara personal, tetapi melalui foto-foto ini Anda berhasil membuat cerita yang bisa dipahami oleh semua orang. Ada tersirat perasaan melankolis dan sedih. Rasa kehilangan terhadap Ayah Anda sangat kuat di dalam foto ini. Karena cerita ini sangat pribadi dan berangkat dari perasaan personal Anda, cukup sulit untuk mengurutkan sequence-nya,” komentar Jenny sambil menelaah foto-foto yang ditampilkan di layar.
Di akhir sesi kelas, Jenny mengungkapkan suka-dukanya melewati tantangan photo editing di tengah kondisi pandemi. “Tidak selalu mudah untuk melakukan ini dari jarak jauh. Jauh lebih nyaman jika bisa bekerja bersama-sama secara langsung. Jika kita bisa bertemu secara fisik, foto yang dicetak bisa dijejerkan di atas meja sehingga proses editing akan lebih mudah,” aku Jenny.
Jenny serta para mentor lainnya memuji hasil akhir proyek foto yang digarap peserta selama dua bulan ini. Hasilnya di luar ekspektasi meski terjebak di tengah keterbatasan situasi.
“Mungkin karena saat ini pandemi dan lebih banyak beraktivitas di dalam rumah, teman-teman peserta jadi punya kesempatan untuk berkontemplasi dan berdialog dengan diri sendiri lewat karyanya. Level story yang dihasilkan teman-teman sungguh di luar dugaan,” puji Ng Swan Ti sambil tersenyum. // Rizka Khaerunnisa
Hari Kedua Final Editing bersama Jenny Smets
Workshop intensif bersama Jenny Smets, kurator dan editor foto independen dari Belanda, kembali dilanjutkan, Selasa, (02/02/2021). Sama seperti pekan lalu, setiap peserta membuka sesi editing dengan menceritakan isi karyanya sambil menayangkan enam puluh foto terpilih dari 4 sesi Photo Editing. Kemudian dilanjutkan dengan dengan menampilkan dua puluh foto pilihan, lalu dipilih lagi menjadi dua belas foto untuk kemudian dirangkai menjadi final sequence.
Pada pertemuan kedua ini, ada empat karya yang ditelaah. Keempat karya itu dibuat oleh Suci Rahayu (Kompas.com, Malang), Johannes P. Christo (Pewarta Foto Lepas, Denpasar), Nita Dian Afianti (Tempo, Jakarta), dan Nopri Ismi (Mongabay Indonesia, Kab. Bangka Tengah).
Keempat karya memiliki pendekatan storytelling yang berbeda-beda, mood visual yang bermacam-macam, serta gaya dan teknik yang beragam. Dalam hal pemilihan warna foto misalnya, ada yang memilih foto berwarna seperti pada karya Suci dan Nita serta ada pula yang memilih foto hitam-putih seperti pada karya Christo dan Nopri.
Meski sama-sama foto berwarna, ada perbedaan signifikan pada karya yang dibuat Suci dan Nita. Suci misalnya, ia memainkan warna-warna yang menimbulkan rasa gloomy dan sendu dalam setiap potretnya. Tak heran, sebab rasa-rasa seperti itu cocok dengan cerita yang ingin ia angkat. Kisah di dalam fotonya sangat personal, ada semacam ruang dialog dengan dirinya sendiri. Ruang dialog itu adalah proses healing yang tengah ia hadapi atas situasi perpisahan dengan pasangan sekaligus memaknai kembali hubungan dengan orangtua dan anak-anaknya, sementara di sisi lain harus tetap bertahan dalam kondisi pandemi yang serba tidak pasti.
“Ini cerita yang sangat bagus. Foto-foto ini menggugah efek dan mood tertentu di dalam diri saya. Apalagi terkait dengan situasi pandemi yang membuat kita terkurung di dalam rumah. Namun pada saat yang sama, saya masih bisa merasakan harapan yang muncul di dalam foto ini,” komentar Jenny saat mencermati satu demi satu foto karya Suci.
Sementara itu, Nita memilih eksperimen dengan sentuhan warna-warna cerah, seperti kuning, merah muda, dan putih. Namun warna cerah tak serta merta mengindikasikan isi cerita yang gembira. Sebaliknya, cerita yang dimunculkan Nita cukup kelam, yaitu tentang seorang penyintas kekerasan seksual di halte Harmoni Transjakarta pada 2014 silam. Dalam konteks ini, warna-warna cerah direpresentasikan sebagai harapan dan kekuatan seorang penyintas yang berupaya merebut kembali hak dan kendali atas hidupnya.
“Cerita ini adalah contoh yang bagus tetapi cukup sulit disusun menjadi sebuah sequence ya, sebab kita harus mempertimbangkan banyak elemen. Selain pertimbangan unsur cerita dan warna, Anda juga harus mempertimbangkan antara foto yang tajam dan yang halus. Selain itu, di sini juga banyak foto yang simbolis, jadi kita harus berhati-hati menyeleksinya,” kata Jenny mengungkapkan kesulitannya saat melakukan proses editing.
Selanjutnya beralih ke foto cerita hitam-putih pada karya Christo dan Nopri. Christo membuat cerita dengan langgam serupa dokumenter sementara Nopri cenderung bersifat reportase.
“Apakah ada alasan khusus kenapa memilih warna hitam-putih?” tanya Jenny kepada Christo.
Christo menjelaskan bahwa pemilihan warna hitam-putih merujuk pada efek tertentu yang bisa menonjolkan sifat keliaran pada subjek foto, sehingga ia sengaja mengeliminasi warna-warna yang mengganggu. Sebagai informasi, proyek foto yang dibuat Christo bercerita tentang anjing-anjing di Bali yang dilepas-liarkan oleh pemiliknya dan hal tersebut telah menjadi budaya yang hidup dalam masyarakat Bali.
Selain Christo, ada Nopri yang mengangkat cerita reportase tentang komunitas suku laut Sekak di pulau Bangka. Imbas kebijakan pemerintah yang pernah dibuat pada era Soeharto membuat kehidupan suku laut berpindah ke daratan. Kini keberadaan mereka semakin terdesak akibat adanya aktivitas industri pertambangan timah serta problem regenerasi budaya dan kepercayaan lokal yang pelan-pelan mengikis.
Setelah mencermati foto-foto karya Nopri, Jenny mengungkapkan kesan bahwa ia seolah-olah mengenali karakter dan gaya tertentu yang acapkali diadopsi oleh banyak fotografer dokumenter. Ada permainan cahaya terang-gelap, efek blur, dan hitam-putih yang dramatis.
“Saya melihat kombinasi beberapa gaya fotografer dalam cerita ini dan itu sebetulnya bukan masalah besar. Namun jangan lupa, Anda juga harus mempertimbangkan bahwa orang-orang perlu mengenali karakteristik yang khas pada diri Anda, yang membedakannya dari fotografer-fotografer lain. Jadi harus berhati-hati saat mengadopsi gaya tertentu,” tutur Jenny memberi catatan. // Rizka Khaerunnisa
Hari Pertama Final Editing bersama Jenny Smets
Rangkaian progam Permata Photojournalist Grant (PPG) 2020 hampir mendekati proses akhir. Namun sebelum itu, peserta PPG harus melewati workshop intensif bersama Jenny Smets, kurator dan editor foto independen dari Belanda. Dalam sesi khusus ini, proyek foto masing-masing peserta akan ditinjau dan disusun ulang hingga menghasilkan final editing.
Kelas dibagi menjadi tiga kali pertemuan. Pada hari Jumat, (29/01/2021), ada tiga peserta yang mengikuti sesi khusus bersama Jenny ini, yaitu Indra Abriyanto (Harian Rakyat Sulsel, Makassar), Fanny Kusumawardhani (Fotografer Lepas, Jakarta), dan Rifkianto Nugroho (Detikcom, Bekasi).
Setiap peserta nantinya mendapat kesempatan sekitar satu jam untuk berdiksusi bersama Jenny dan mentor lainnya, mulai dari mempresentasikan karya, menampilkan enam puluh foto terpilih, mengeliminasinya menjadi dua puluh foto, hingga menyisihkan dua belas foto yang diurutkan dengan metode sequencing.
“Setiap kali melakukan proses editing, saya selalu ingin melihat all take-nya sehingga saya bisa membaca pendekatan yang dipilih oleh fotografer. Yang paling penting bagi saya sebagai editor, adalah melihat dan memahami suatu cerita tanpa harus ada yang bercerita secara harfiah kepada saya. Jadi, jika semua visual yang diperlukan ada dan lengkap, kita bisa melihat itu semua,” papar Jenny saat memulai sesi.
Menurut Jenny, untuk membangun photo story yang bagus, kita harus menyiapkan berbagai stok foto, tidak hanya yang memperlihatkan isi cerita tetapi juga yang bisa menentukan ritme dalam cerita. Misalnya, foto yang direkam dengan jarak pandang dekat maupun jauh (overview), foto yang bisa mengenalkan lokasi cerita, atau foto portrait dari orang-orang yang terlibat di dalam cerita. Sehingga, saat proses editing kita tidak kekurangan bahan cerita.
“Indra, dari editing yang sudah Anda kerjakan, foto mana yang paling penting bagi Anda? Foto mana yang bisa menceritakan seutuhnya dan mungkin bisa menjadi pembuka cerita?” Tanya Jenny kepada peserta pertama, Indra Abriyanto, sambil mempelajari berbagai macam foto.
Jenny selalu bertanya dan berdiskusi dengan para peserta tentang foto apa yang cocok dijadikan sebagai pembuka, kemudian bergerak alur demi alur, sampai pada penutup cerita dan mengapa foto-foto tersebut pantas dipertahankan.
“Bagi saya editing yang bagus itu adalah kombinasi yang mencakup dari berbagai aspek. Tidak hanya memmpertimbangkan foto dari segi konten, tapi juga foto-foto mana yang paling menarik bagi orang yang sedang melihat,” tutur Jenny.
Yang menarik dalam kelas kali ini, ketiga peserta menyajikan cerita dengan pendekatan, mood visual, dan tingkat kesulitan yang berbeda-beda. Proyek foto yang dikerjakan Indra, misalnya, bercerita tentang seorang penyintas Covid-19 yang mengalami stigma dari tetangga di sekitar rumahnya. Menurut Jenny, foto-foto dari proyek ini terasa gelap dan gloomy. Ia memberi peringatan bahwa kita harus berhati-hati ketika menyusun urutan foto, jangan sampai kesan cerita yang dihasilkan terlalu berat dan kelam.
Selain Indra, cerita reportase juga dibuat oleh Rifkianto Nugroho. Cerita Rifki berfokus pada masalah body shaming dan standar kecantikan perempuan. Tokoh utamanya adalah seorang binaragawati yang mengalami body shaming, entah itu ketika kondisi tubuhnya masih gemuk maupun setelah melakukan aktivitas olah otot dan diet ketat.
Proyek foto yang dibuat Rifki cukup sulit untuk dibentuk dan disusun menurut Jenny. Ada banyak bahan, lokasi, dan komponen yang menarik. Namun pada saat yang sama, hal itu jadi sulit untuk menentukan dan memilih mana foto yang penting dan mana yang perlu dikeluarkan dari sequence.
Lalu, ada Fanny Kusumawardhani yang menyajikan cerita dengan pendekatan personal. Berbeda dengan Indra dan Rifki, foto cerita yang dibuat Fanny sifatnya konseptual. Ia membuat foto dari pantulan gambar yang diproyeksikan di dinding tempat tinggalnya yang sekarang. Subjek dalam foto yang dibuat Fanny adalah anggota keluarganya yang terpisah jauh akibat situasi pandemi Covid-19. Proyeksi itu menciptakan kesan yang seolah-olah nyata, padahal mereka tidak hadir secara fisik bersama Fanny.
“Perbedaan yang sangat besar dari cerita ini dengan cerita sebelumnya adalah karena foto-fotonya agak mirip. Jika Anda biasanya membuat photo story dengan narasi yang memiliki alur awal sampai akhir, kali ini tidak ada. Untuk mengurutkannya, kita harus melihat komposisi serta warna, dan bukan isinya. Sebab proyek ini konsepnya sama, formatnya sama, warnanya juga hampir sama. Jadi, kita harus mempertimbangkan ritme,” jelas Jenny menanggapi cerita yang ditampilkan Fanny.
“Bagaimana pendapatmu melihat hasil karyamu yang sekarang?” tanya Ng Swan Ti di sela-sela diskusi. Fanny mengungkapkan bahwa proyek ini cukup menantang bagi dirinya karena harus keluar dari zona nyaman dan mulai berani bercerita tentang dirinya sendiri.
Di akhir sesi, Jenny mewanti-wanti bahwa tidak ada editing foto yang paling benar dan selalu ada alternatif yang beragam. Fotografer juga harus punya pertimbangan apabila ingin mengeliminasi satu foto dan menggantinya dengan foto yang lain. Mengganti urutan foto berarti akan mengubah isi dari cerita yang ingin disampaikan.
“Pesan saya, jika nanti Anda mengubah editing yang sudah dikerjakan ini, lakukanlah dengan sadar sebab cerita Anda bisa berubah,” kata Jenny. // Rizka Khaerunnisa
Photo Editing 4: Mematangkan Konsep Photo Sequencing
Selasa, (26/01/2021), pelatihan fotografi, rangkaian program Permata Photojournalist Grant (PPG) 2020 kembali dilaksanakan. Pertemuan kali ini merupakan sesi editing terakhir bersama para mentor PannaFoto Institute sekaligus langkah awal menuju sesi editing yang lebih intensif bersama Jenny Smets, kurator independen dan editor foto, yang rencananya akan berlangsung mulai hari Jumat (28/01).
Teknis dan proses pada kelas editing keempat ini tak jauh berbeda dengan kelas-kelas sebelumnya. Peserta masih dibagi menjadi dua kelompok dalam breakout room yang dibimbing oleh mentor Rosa Panggabean dan Yoppy Pieter. Masing-masing kelompok diberi waktu dua jam lima belas menit untuk melakukan proses editing. Yang membedakan, pada pertemuan ini lebih fokus untuk menyusun dan merapikan dua belas photo sequencing yang materinya telah disampaikan dalam kelas editing ketiga pekan lalu.
Setelah breakout room selesai, seluruh peserta dan mentor bergabung kembali dalam satu room bersama. Di sini setiap peserta melakukan latihan presentasi singkat sambil menampilkan dua belas foto cerita yang telah terpilih. Beberapa koreksi dan komentar pun dilontarkan oleh para mentor. Mereka memberi kritik dan saran agar peserta pandai-pandai memilih kalimat yang diutarakan ketika presentasi.
“Para peserta harus melatih kembali cara berbicara dalam membawakan presentasinya. Peserta harus ‘bercerita’ supaya lebih menarik, bukan menjelaskan,” Ujar Edy Purnomo.
Perjalanan peserta PPG 2020 dalam menyusun proyek foto cerita hampir mendekati tahap akhir, tinggal mematangkan editing dan memikirkan konsep pameran dan multimedia.
Di akhir pertemuan ini, para mentor meminta para peserta membagikan kesannya selama mengikuti rangkaian kelas PPG 2020, terutama dalam kelas editing.
“Ini kan kita sudah hampir mendekati proses akhir dan setelah ini editing bersama Jenny. Saya ingin tahu pendapat kawan-kawan, dari seluruh proses editing di PPG ini, kira-kira apa yang kawan-kawan dapatkan?” Tanya Edy Purnomo.
Nopri Ismi, pewarta foto Mongabay Indonesia, mengungkapkan bahwa dengan adanya kelas ini ia jadi terpicu untuk membuat cerita visual yang lain. Menurutnya, di kelas PPG, peserta diberi kebebasan dalam membangun cerita visual dan pengalaman ini berbeda jika dibandingkan ketika bekerja di industri media.
“Kebebasan, dalam artian apa yang ingin kita bentuk atau apa yang ingin kita sampaikan, mentor juga memiliki satu pengertian yang sama. Jadi lebih nyambung dan enak,” tambah Nopri.
Selain Nopri, ada Thoudy Badai Rifanbillah, pewarta foto Republika, yang turut membagikan kesannya terkait pengalaman mengikuti rangkaian program PPG ini.
“Kalau aku, sih, jadi banyak ilmu yang didapatkan, meskipun online. Mungkin hambatannya datang dari pribadi, ada perbedaan antara ngobrol secara online dan offline. Kalau offline, kan, kadang-kadang ada pertanyaan yang lahir dari obrolan biasa, sementara komunikasi lewat online rasanya masih agak kaku. Tapi, untuk materi-materi yang didapatkan sangat membuka mata, sih, bagaimana cara-cara bertutur lewat visual,” ujar Thoudy.
Johannes P. Christo, Pewarta Foto Lepas dari Denpasar, mengaku bahwa ada pengetahuan-pengetahuan yang sudah diketahui tetapi ia tinggalkan dan tak dieksplorasi lebih jauh.
“Akhirnya, di PPG ini banyak hal baru yang tentunya akan menjadi bahan dan landasan saya dalam berkarya ke depannya,” tutur Johannes.
Sebagai penutup pertemuan, Ng Swan Ti, Managing Director PannaFoto Institute, mewanti-wanti agar peserta tak berhenti berlatih dan berkarya setelah program PPG ini rampung. Peserta yang sudah intensif menempuh kelas PPG selama tiga bulan tidaklah otomatis menjadikan dirinya fotografer yang hebat. Tanpa latihan, ilmu yang didapatkan akan sia-sia. Dengan berlatih secara mandiri, Swan Ti berharap, kemampuan peserta PPG sudah naik level jika suatu hari nanti muncul peluang baru yang bisa menunjang impian maupun karier.
“Jadi, PPG ini sebetulnya bukan akhir, justru merupakan awal perjalanan untuk mengembangkan kemampuan kalian,” kata Swan Ti. // Rizka Khaerunnisa
Riset Audiens dan Presentasi Photo Story bersama Saša Kralj
“Apakah kita telah menemukan relevansi pada cerita foto yang kita kerjakan?” Saša Kralj, founder Živi Atelje DK, Zagreb, mengajukan pertanyaan pembuka tersebut dalam pelatihan fotografi, rangkaian program Permata Photojournalist Grant (PPG) 2020, Jumat, (22/1/2021).
Relevansi yang dimaksud yaitu, apakah cerita kita bisa relevan terhadap diri kita sendiri, apakah relevan terhadap protagonis di dalam cerita, dan apakah relevan terhadap audiens. Jangan sampai kita terlalu fokus pada diri sendiri dan tidak peduli dengan target audiens yang ingin dicapai.
Menentukan target audiens barangkali jadi problem bagi kebanyakan fotografer karena ada kecenderungan ingin memuaskan semua orang. Namun yang kerap terjadi justru fotografer terjebak pada cerita yang terlalu umum dan dangkal sehingga hasil akhirnya tidak memuaskan siapapun. Inilah mengapa riset audiens menjadi hal yang sangat penting.
“Jadi kita harus membayangkan audiens kita, bagaimana audiens akan bereaksi terhadap cerita kita. Jangan membuat cerita hanya karena itu menarik bagi Anda saja,” ujar Saša.
Pertanyaannya, bagaimana kita bisa tahu jika cerita tersebut relevan terhadap audiens atau tidak?
Menurut Saša, langkah paling awal yaitu kita harus mampu mendefinisikan audiens kita terlebih dahulu. Kita harus memiliki bayangan dan tahu cara mengkomunikasikan cerita kepada audiens dengan kritis. Saša menekankan, jangan sampai kita terkesan menggurui audiens dan berasumsi bahwa mereka tidak tahu apa-apa.
Selanjutnya, hal yang harus dipikirkan oleh fotografer adalah jenis penyajian karya seperti apa yang akan dipilih. Fotografer sering berpikir bahwa foto saja sudah cukup, namun melalui foto esai kita juga bisa mengumpulkan teks demi teks. Maka, jika kita ingin menampilkan karya pada halaman koran, pilihan penyajiannya adalah gabungan foto dengan caption pendek.
Namun, di era digital seperti sekarang, penyajian karya dengan hanya menampilkan foto dan teks saja tidaklah cukup. Fotografer harus kreatif dan berani tampil berbeda mengemas karyanya. Caranya yaitu dengan memanfaatkan multimedia sebagai pelengkap medium cerita.
Multimedia berarti “semuanya”. Semua yang bisa digunakan sebagai medium cerita. Misalnya, di samping foto sebagai karya utama, kita bisa menambahkan sound effect, musik, video, lukisan atau gambar, bahkan patung.
“Saya ingin menunjukkan bahwa fotografi itu jangan dijadikan sebagai penjara. Storytelling adalah suatu ruang yang terbuka, bebas kita jelajahi,” tutur Saša.
Saša memperlihatkan contoh proyek foto close up portrait orang-orang tunawisma berjudul to Ronto (2011) yang direkam oleh Delibor Talajic. Saat karya tersebut digarap, sang fotografer hanya mengikuti workshop pendek di Toronto, Kanada, sehingga tidak sempat melakukan banyak riset. Akhirnya ia menambahkan lapisan emosional dari proyek tersebut dengan efek suara. Hasilnya punya efek berbeda jika dibandingkan dengan tampilan foto still saja.
“Seandainya ada foto yang cerita dan visualnya kurang kuat, apakah itu bisa diperkuat dengan presentasi? Atau justru sebaliknya, visualnya dulu yang harus kuat baru kemudian presentasi multimedia bisa mengikuti untuk menambah target audiens?” Tanya Johannes P. Christo, salah satu peserta PPG 2020 yang juga merupakan pewarta foto lepas dari Denpasar.
Menurut Saša, jika visual cerita itu entah kuat atau tidak kuat, sebetulnya tiap elemen memiliki kekuatannya masing-masing. Misalnya elemen musik, kekuatannya adalah untuk memicu memori karena dari setiap suara yang didengar kita akan mendapatkan kilasan-kilasan ingatan yang pernah terjadi sebelumnya. Lain hal lagi soal elemen visual, ia memiliki ketertarikan simfoni yang muncul dalam satu waktu lewat gambar still. Lalu, elemen teks memiliki kekuatan informasi yang terkandung di dalamnya. Sementara kekuatan dari elemen efek suara adalah memberi nuansa emosi, misalkan suara-suara tertentu yang menimbulkan kesan tegang dan drama.
Oleh sebab itu, peran riset audiens menjadi penting sebab kita ingin berinteraksi dengan audiens secara emosional dan penyajian karya dalam bentuk multimedia menyediakan keluasan dan kebebasan eksplorasi.
Pameran di dalam ruang tiga dimensi tentu akan berbeda jika dibandingkan dengan presentasi di dalam buku foto (dua dimensi). Setiap ruang, setiap medium, dan setiap audiens membutuhkan cara dan perlakuan yang berbeda-beda.
“Pada masa sekarang, eksplorasi penggunaan multimedia semakin luas, batasan-batasan lama sudah tidak ada lagi. Bahkan, pameran saat ini jauh lebih berani, tidak melulu menggantungkan foto-foto di dinding dalam ukuran yang sama, presentasi semacam ini agak membosankan,” jelas Saša. // Rizka Khaerunnisa
Mengulas dan Menyunting Tulisan untuk Esai Foto
“Belajar menulis itu sama seperti orang belajar naik sepeda,” kata Budi Setiyono, wartawan dan Redaktur Pelaksana Historia.id, mengawali kelas penulisan narasi sesi dua sambil menunjukkan ilustrasi orang yang tengah belajar naik sepeda di layar zoom meeting, Selasa, (19/1/2021). Jika pada sesi pertama para peserta mendapatkan pengetahuan seputar teori menulis, kali ini tulisan yang telah mereka kerjakan selama satu minggu diulas satu per satu oleh mentor tamu tersebut.
Budi mengumpamakan bahwa belajar menulis sama seperti belajar naik sepeda. Satu-satunya cara paling tepat adalah mencoba. Mungkin kita bisa memperoleh penjelasan langkah-langkah naik sepeda di YouTube, namun hal itu akan menjadi percuma jika tidak dibarengi dengan praktik secara langsung.
Dalam prosesnya, kita akan terjatuh, lalu bangkit dan mencoba lagi, dan seterusnya. Di samping itu, kita juga butuh dorongan dari orang yang lebih berpengalaman. Kalau dalam proses penulisan, kita akan membutuhkan seorang teman yang sudah terlatih dalam menulis atau seorang editor untuk mendorong kita agar terus maju dan mencoba.
“Teori itu sebetulnya hanya dipakai sekian persen saja. Dalam menulis yang lebih penting itu praktiknya. Kalau kita selalu mengingat-ingat kembali teorinya, justru hal itu akan membelenggu kita, membuat kita tidak merasa lepas ketika menulis,” tambah Budi.
Aturan dasar dalam menulis hanya ada dua, yaitu membaca dan menulis. Jika tidak pernah membaca, kita tidak akan mendapatkan topik-topik yang menarik dan tidak bisa memperdalam tulisan yang dibuat. Oleh sebab itu, selain memperoleh perspektif baru, dengan membaca kita juga akan tahu bagaimana cara menyusun kalimat dan memilih kata. Setelah kebiasaan membaca terbentuk, maka dorongan untuk menulis pun akan muncul.
“Kalau di kalangan wartawan atau penulis itu kan ada istilah ‘banyak tahu meskipun sedikit’. Jadi bacaan apa saja saya lahap,” tutur Budi.
Menulis merupakan proses yang panjang. Bahkan Budi mengakui, ia menganggap dirinya masih dalam tahap belajar menulis. Proses menulis itu selalu berkembang. Jika hari ini kita membaca ulang tulisan beberapa tahun lampau, perspektif dalam tulisan tersebut niscaya akan usang dan berbeda.
Sepanjang proses penulisan, kita jangan sampai melupakan aspek lain yang tak kalah penting yaitu kegiatan menyunting. Budi mewanti-wanti, penulis yang baik pada hakikatnya selalu menjadi editor yang baik bagi dirinya sendiri.
Selama kurang lebih tiga jam kelas berlangsung, Budi membedah satu per satu naskah yang sudah dikerjakan oleh para peserta. Peserta diminta untuk membacakan tulisannya dan dilanjutkan dengan proses penyuntingan. Secara umum, kekeliruan bahasa yang kerap dijumpai yaitu, salah tik, penggunaan tanda baca yang kurang tepat, Ejaan Bahasa Indonesia (EBI) yang belum diterapkan, pilihan kata yang kurang akurat, hingga logika kalimat yang rancu.
Dalam setiap sesi penyuntingan, peserta mengutarakan tentang kesulitan-kesulitan saat proses menulis. Salah satunya Nita Dian Afianti, pewarta foto Tempo, yang akan kesulitan menulis jika tidak menemukan poin-poin penting untuk paragraf pembuka penutup. Sebagai informasi, poin paragraf pembuka lazim disebut lead. Sejatinya, lead yang baik akan membuat pembaca tertarik untuk menuntaskan cerita dari awal sampai akhir.
“Aku itu tipe orang yang kalau nulis harus tahu depannya. Jadi selama depan dan akhir tulisannya belum ketahuan, biasanya cerita akan melebar ke mana-mana. Kalau sudah tahu, biasanya lebih lancar menulis,” kata Nita.
Perihal ini, Budi juga mengingatkan tentang pentingnya membuat kerangka dan struktur cerita terlebih dahulu. Tujuannya agar ide-ide yang acak bisa tersusun rapi dan tidak menyulitkan kita ketika menulis. // Rizka Khaerunnisa
Photo Editing 3: Menyusun Cerita Foto dengan Metode Sequencing
Jumat, (15/1/2021), pelatihan fotografi, rangkaian program Permata Photojournalist Grant (PPG) 2020 memasuki sesi kedelapan. Kelas dibagi menjadi dua babak. Pada babak pertama, peserta dipecah menjadi dua kelompok kecil. Masing-masing kelompok dibimbing oleh mentor Rosa Panggabean dan Yoppy Pieter. Bersama para mentor, setiap peserta menyeleksi dan memilih 15 foto (minimal) dari empat puluh lima foto yang diajukan.
Pada babak kedua, seluruh peserta bergabung kembali dalam satu room. Di tahap ini, Edy Purnomo memaparkan materi tentang Photo Sequencing.
“Mengapa membuat sequencing di editing ketiga? Tujuannya agar peserta tahu, pertama kira-kira ceritanya mau dibawa ke mana. Kedua, bagaimana cara menyusun cerita itu. Terakhir, bagaimana menguatkan dan menambah yang kurang dari struktur yang ada,” terang Edy.
Secara garis besar metode sequencing terdiri dari tiga tahapan, yaitu clustering (pengelompokkan foto), menyusun, dan story arc.
Jika ingin mengedit foto, hal pertama yang harus dilakukan adalah mengelompokkan foto-foto itu terlebih dahulu. Pengelompokkan foto mula-mula harus diseleksi berdasarkan mood visual yang ditampilkan. Tahapan ini harus memperhatikan kepaduan warna, angle, hingga visual approach (pendekatan visual) sekaligus bagaimana pendekatan visual itu digunakan.
“Jangan sampai belang secara mood visual karena hal ini akan mengganggu banget dalam proses editing nanti. Misalnya, kalau kebanyakan warna-warna [red: dalam fotonya] blues atau biru, tiba-tiba muncul satu foto yang warnanya putih sendiri. Itu kalau tidak diperlukan, ya tidak usah dipakai. Meskipun terkadang ada yang memakai itu,” ujar Edy.
Edy mengibaratkan ihwal mood visual ini sama seperti cara kita mendengarkan musik. Melodi dalam musik setidaknya harus selaras dan berirama. Ketika tiba-tiba muncul satu nada yang menyimpang, musik akan terdengar aneh di telinga. Begitu pula dengan cerita foto. Rangkaian dari satu foto menuju foto yang lain harus selaras.
“[Memang] secara teori, tak ada aturan baku. Tetapi, nanti ketika kita melihat visual secara keseluruhan, kita baru bisa merasakan bagaimana cerita punya flow, bagaimana satu foto dengan foto lainnya punya keterkaitan berdasarkan mood-nya. Konten pada akhirnya bisa mengikuti asalkan mood visual-nya sama.”
Setelah mood visual dapat ditangani secara baik, baru bisa menyeleksi foto berdasarkan konten atau isi cerita dan dilanjutkan dengan menyusun foto secara berurutan.
Agar susunan cerita foto padu dan utuh, diperlukan kerangka story arc. Setidaknya ada tiga bagian dalam story arc yang dimulai dengan exposition sebagai pembuka cerita. Kemudian cerita mulai bergerak sampai pada klimaks dan ditutup dengan resolution.
“Kunci dari editing [sebetulnya] teman-teman harus menanamkan di dalam kepala bahwa editing itu bukan kumpulan foto-foto bagus,” tambah Yoppy di sela-sela diskusi.
Meski pada akhirnya foto dituntut harus bagus, namun hakikat cerita foto tak sekadar demikian. Yang paling penting adalah keterkaitan antara satu frame ke frame berikutnya.
Yoppy juga mengatakan bahwa fotografer harus membuang jauh egonya saat masuk dalam proses editing.
“Saya bisa paham banget, misalnya ada fotografer bilang seperti ini, ‘foto ini harus masuk karena gue susah banget motretnya, gue harus manjat tebing, gue harus jatuh dari motor…’ Orang di luar sana tidak peduli dengan hal itu. Yang saya peduli adalah apakah foto ini nyambung dengan cerita dalam tatanan frame-frame yang kalian tampilkan. Jadi buang jauh-jauh ego itu,” jelas Yoppy lagi.
Di akhir sesi, para mentor meminta agar peserta menyusun pokok cerita, maksimal dalam 3 kalimat. Proses ini akan menentukan sejauh mana peserta menguasai inti cerita yang ingin diungkapkan kepada audiens. Jangan sampai cerita itu disampaikan dalam kalimat yang bertele-tele dan menyebabkan audiens gagal memahami arah cerita.
“Kalau itu tidak clear, saya yakin seratus persen teman-teman akan merasa kesulitan menyusun cerita. Apalagi kalau lebih dari tiga kalimat, teman-teman fotografer pasti akan kebingungan membuat sequencing-nya,” ujar Edy. // Rizka Khaerunnisa