Selain memotret, pewarta foto juga bertugas untuk menuliskan kalimat singkat sebagai deskripsi foto. Karena itu, kemampuan menulis menjadi bagian dari skill set yang tak terpisahkan dalam profesi ini. Tri Joko Her Riadi dari Bandung Bergerak mengajak para peserta untuk sekali lagi menanggalkan kamera sejenak dan meraih pena.
Jajaka Parahyangan ini membuka kelas dengan satu keyakinan, kita semua tanpa terkecuali pada dasarnya punya kemampuan untuk bercerita. Ia mengajak para peserta mengajukan tiga kata benda dan kerja, singkatnya, “Mandi – Tanah – Penelitian” menjadi kata yang disepakati. Dari tiga potong kata yang tak saling berhubungan itu, ia minta semua peserta memasukannya dalam sebuah paragraf. “Setelah melakukan penelitian terkait sengketa tanah di lokasi yang gersang dan gerah, aku pun memutuskan pulang dan mandi,” sahut Tohir diikuti dengan sambungan kalimat berikutnya dari peserta lainnya.
Setelah asyik bermain kata, Joko – sapaan akrabnya, mengungkapkan, narasi atau teks seperti yang para peserta ujar sebelumnya adalah bagian integral dari sebuah cerita foto berikut foto dan tata letaknya. Ketiga unsur tersebut menjadi satu kesatuan utuh yang saling melengkapi. “Tapi jangan sampai teks menenggelamkan foto. Kita menulis teks dengan kesadaran penuh untuk membantu audiens mengerti cerita foto,” ungkapnya.
Meski beban menulis pewarta foto terlihat ringan alias tak serumit jurnalis tulis, namun harus diakui “buntu” saat menulis paragraf pertama jua tak terhindarkan. Untuk itu, ia menawarkan Freytag’s pyramid yang terdiri dari formula sederhana: pembuka (memikat perhatian), isi (rincian/proses), dan penutup (kesan agar ingat selamanya). “Ini bukan tahap yang harus dipatuhi, bisa saja kita justru punya kalimat penutup dulu baru terpancing untuk membuat kalimat pembuka,” sambungnya.
Ia kemudian mencontohkan beberapa straight news, feature hingga kutipan novel sebagai contoh. Dari semua itu ia menyarikan satu hal penting: yang sederhana yang terkuat. Tak perlu memakai kata-kata canggih agar terkesan hebat apalagi yang bertendensi menasehati atau menggurui, imbuhnya.
Setelah pemaparan materi, Joko mengajak peserta untuk mengoreksi kalimat yang sudah dikumpulkan sebelum kelas. Dari tulisan Abdan Syakura berjudul Pelita dalam Gelap, Joko memenggal beberapa kata yang berulang di awal dan akhir kalimat. Ekonomi kata menjadi penting dalam penulisan jurnalistik yang dibatasi karakter huruf.
Selain kesederhanaan, ia juga menekankan pentingnya menguasai terlebih dulu 5W+1H dalam liputan harian baru kemudian meloncat ke level ficer atau eksperimental. “Selain merekam, bisa juga mencatat dengan pena karena sudah pasti kita akan lupa detail dari pernyataan narasumber lima menit, sepuluh menit, apalagi dua hari kemudian,” ujarnya mengakhiri kelas.