“Saya seorang Bugis.”
Beginilah percakapan kami diawali. Sosoknya yang berperawakan tegas dan rambut panjang tergerai mungkin lebih cocok menjadi seorang rocker. Menantang arus modernisasi, di sinilah seorang Syamsuddin Ilyas—atau Kang Ilyas, lebih akrabnya, menjadi warna berbeda di antara kita semua. Pria berdarah Bugis ini memilih untuk menjejaki ‘masa lampau’ dengan sesuatu yang akrab dengan asal-usulnya.
Berbagai foto Pelabuhan Sunda Kelapa, sebuah sentra perdagangan maritim penting sejak masa Hindia Belanda, sering menampilkan kapal-kapal bercat putih, dengan lambung yang tajam menjulang ke udara, dengan layar-layar yang terlipat selama bersandar. Ikon Pelabuhan Sunda Kelapa ini adalah ikon masyarakat Bugis—juga ikon Indonesia. Ialah kapal pinisi, kapal gagah perkasa yang dengan tujuh layarnya berani menantang gelora samudera untuk menghubungkan berbagai bagian di seantero Nusantara.
“Tidak, ini bukan kapal pinisi asli,” kisah Ilyas. Ilyas menyoroti berbagai modifikasi terhadap kapal-kapal pinisi modern, termasuk ‘pengawinan silang’ dengan kapal-kapal bermotor agar terbilang lebih efisien jika dibandingkan dengan pemanfaatan aslinya. Rasa penasaran terhadap ‘pergeseran’ sejarah inilah yang memanggil hati Ilyas untuk berhenti sejenak dari profesinya sebagai seorang jurnalis foto, untuk tetap membawa kameranya dan mencoba merasakan—serta menangkap—bagaimana kapal pinisi yang begitu legendaris hidup mengarungi perairan Indonesia.
Tatap matanya berkilau seiring Ilyas menceritakan pengalamannya mengarungi laut luas dengan kapal pinisi. Tidak mudah jalannya memang sampai ia bisa mendapatkan izin untuk menumpang di kapal pinisi—yang aslinya berfungsi sebagai kapal angkut barang. Rekan se-‘kampung halaman’-nya kemudian membawanya bersama menaiki sebuah kapal pinisi yang berangkat dari Pelabuhan Sunda Kelapa.
Jika dikenang kembali, tidak ada yang menjanjikan perjalanan mudah baginya. Badai dan gelombang, hingga masa-masa kapal pinisi tersebut terdampar … “Wah, nggak main-main itu ombaknya, hingga empat meter tingginya dan masuk ke dalam kapal.” Hebatnya, tidak ada sedikitpun rasa takut melekat pada dirinya, apalagi jika mengingat bahwa perjalanan ini bukannya tanpa risiko untuk nyawa Ilyas. Justru, dengan kameranya, ia semakin bersemangat untuk menangkap kehidupan mereka yang ada di atas kapal ini dalam tangkapan digital.
Tidak berhenti sampai di situ, perjalanan ini berbekas secara pribadi bagi Ilyas. Terutama, sambil ia mengingat penelusuran akan asal-usulnya sebagai seorang Bugis, sambil mencoba melekatkan dirinya—walau sementara—pada sebuah artefak yang identik dengan nama Bugis. “Dari sini saya belajar banyak tentang ketabahan dan kekuatan orang-orang yang melewati hari-harinya sedari muda di atas kapal pinisi ini,” kenangnya.
Komunitas Sunda Kelapa Heritage
Kapal pinisi memang mungkin bukanlah obyek yang akan terlintas dalam pikiran Anda ketika Anda memikirkan sesuatu yang khas Indonesia atau bersejarah. Warisan budaya ini terus tergerus modernisasi dan hilang seiring berjalannya waktu. Walau demikian, tidak semua orang ingin kapal layar megah ini tenggelam dari benak masyarakat begitu saja. Adalah Komunitas Sunda Kelapa Heritage (SKH), tonggak sekaligus pionir untuk membawa sosok kapal pinisi menjadi akrab di tengah masyarakat umum. Rasa penasaran Ilyas membawanya untuk bergabung dalam komunitas pencinta sejarah ini. Sayangnya, gaung akan komunitas luar biasa ini terbilang terlambat datang, karena mitra yang tepat masih dalam pencarian. Ilyas, melalui hasil jepretannya di atas kapal pinisi, menjadi motor penggerak dukungan dari banyak mitra yang begitu bersemangat melihat eksposur kapal pinisi yang pernah ditungganginya.
SKH yang kini telah memulai kegiatan aktifnya untuk memromosikan peranan Pelabuhan Sunda Kelapa dan kapal pinisi, serta memberikan perhatian khusus pula pada pengembangan dan penanaman pengetahuan akan tempat ini kepada anak-anak yang berada di sekitar Pelabuhan dan lingkar utamanya. Hal ini termanifestasi pada wacana untuk membuat museum terapung yang rangkanya merupakan kapal pinisi. Melalui karya Ilyas pulalah dapat dilihat bagaimana kapal pinisi memiliki pesonanya tersendiri, terutama bagi masyarakat Bugis yang telah melaut secara turun-temurun selama ratusan tahun. Tidak sekedar fisik kapal pinisi yang sangat khas yang diekspos, namun juga tokoh-tokoh yang ada di belakangnya.
“Saya ingin melihat satu siklus kapal pinisi, mulai dari dibuatnya,” ujar Ilyas dengan penuh semangat. Usai merasakan perjalanan penuh badai bersama kapal pinisi, baginya sangat alami jika ia ingin mencoba menengok daur hidup salah satu kapal pinisi. “Setelah itu, saya ingin banyak orang tahu mengenai kapal pinisi, dengan membuat museum dan perpustakaan mengenai kapal pinisi.”
Ilyas adalah seorang sosok penting dan unik di balik inisiatif SKH melestarikan kapal pinisi, salah satu aset historis bangsa yang tidak ada duanya. Tidak berhenti pada kepeduliannya melestarikan kebudayaan sukunya sendiri, ia juga memiliki kesadaran yang tinggi akan pendidikan dini bagi generasi muda. “Sayang banget lihat anak-anak zaman sekarang, jarang ada yang tahu kapal pinisi itu apa,” ucapnya dengan nada prihatin.
Pada akhirnya, melalui bidik lensa kameranya, Ilyas telah menjadi manusia Indonesia yang sesungguhnya. Mungkin dari berbagai keragaman budaya dan sejarah yang dimiliki bangsa Indonesia, Ilyas hanyalah satu representasi kecil dari lautan yang maha luas. Namun, seperti keberanian kapal pinisi mengarungi ombak adalah cerminan dari kerja keras Ilyas, bersama SKH, untuk mencegah kapal pinisi hilang dari peradaban. Di tengah masyarakat kita yang terlena dengan barang-barang modern yang tampak lebih menarik di mata, sungguh ironis jika hal-hal yang kita banggakan tersebut kini tergeser menjauhi benak kita. Hanya segelintir orang yang masih memiliki kepedulian dan berniat teguh untuk melestarikan pusaka tanah air kepada generasi yang akan datang. (Theresia/PermataBank)
Syamsudin Ilyas yang berhasil mengajak kapten kapal pinisi Puang Basso ke pameran Permata Photojournalist Grant 2014 merasa senang karena hal ini membuka kesempatan akan tersebarnya kisah SKH dan kapal pinisi ke masyarakat luas.