Jumat, (05/02/2021), merupakan sesi terakhir workshop intensif bersama Jenny Smets, kurator dan editor foto independen dari Belanda. Mekanisme editing masih sama seperti kelas-kelas sebelumnya. Mula-mula peserta menceritakan isi karyanya sambil menayangkan enam puluh foto all selected, lalu menampilkan dua puluh foto pilihan, dilanjutkan dengan memilih dua belas foto sequence versi awal, hingga memutuskan dua belas foto final sequence.
Kini giliran tiga peserta terakhir yang belum mempresentasikan karya. Ketiganya adalah Andri Widiyanto (Media Indonesia, Jakarta) dan Abriansyah Liberto (Tribun Sumsel, Palembang) yang membuat cerita reportase, serta Thoudy Badai Rifanbillah (Republika, Jakarta) yang membuat cerita personal.
Proyek foto yang digarap oleh Andri bercerita tentang seorang anak bernama Sandi yang terancam tak memiliki masa depan karena tidak memiliki akta kelahiran. Dampaknya ia tak bisa merasakan bangku sekolah formal. Bahkan, hanya karena tak punya identitas, ia tak memperoleh penanganan serius saat mengalami insiden kecelakaan yang menyebabkan kakinya pincang permanen. Ditambah keluarganya hidup dalam kemiskinan struktural khas pinggiran kota.
“Saya sangat suka cerita ini, Andri. Anda seolah-olah merasa dekat dengan anak ini, Anda juga bisa paham apa yang tengah terjadi padanya,” tutur Jenny setelah melewati proses diskusi yang cukup alot untuk menyusun dua belas foto sequence.
Sementara itu, cerita reportase yang dibuat oleh Liberto menyoroti kisah seorang guru bernama Siti Komariah yang tetap bertahan mengabdikan dirinya di sebuah sekolah dasar di desa Saluran, sebuah desa berjarak 20 Km dari pusat kota Palembang.
Di tengah keterbatasan fasilitas dan akses jalan menuju sekolah yang buruk, Siti Komariah tak menyerah. Meski hanya mengajar seorang diri, ia tetap setia mendidik siswa dari kelas 1 s.d. 6 yang berjumlah 20 orang. Siti Komariah bukanlah tamatan pendidikan tinggi dan hanya mengajar seorang diri. Upahnya hanya Rp 500.000 per bulan sehingga ia harus melakukan pekerjaan sampingan sebagai petani.
“Kenapa Anda memilih foto hitam-putih dan bukan yang berwarna? Kenapa ini penting?” Tanya Jenny.
Menurut Liberto, ia hendak menonjolkan sisi dramatis pada fotonya. Di desa tersebut, kondisi sumber listrik untuk penerangan tak memadai. Kondisi itulah yang pada akhirnya ia representasikan dalam karyanya dengan memainkan sentuhan kontras cahaya, antara terang dan gelap khas foto hitam-putih.
Terakhir, ada Thoudy yang menampilkan cerita personal dan konseptual. Ia memilih mood warna yang cenderung sendu serta sentuhan efek saturasi dan blurring sebagai representasi dari mimpi dan angan-angan atas ketiadaan sosok ayah dalam hidupnya.
“Cerita foto ini sangat berbeda dengan sebelumnya. Saya tidak mengenali Anda secara personal, tetapi melalui foto-foto ini Anda berhasil membuat cerita yang bisa dipahami oleh semua orang. Ada tersirat perasaan melankolis dan sedih. Rasa kehilangan terhadap Ayah Anda sangat kuat di dalam foto ini. Karena cerita ini sangat pribadi dan berangkat dari perasaan personal Anda, cukup sulit untuk mengurutkan sequence-nya,” komentar Jenny sambil menelaah foto-foto yang ditampilkan di layar.
Di akhir sesi kelas, Jenny mengungkapkan suka-dukanya melewati tantangan photo editing di tengah kondisi pandemi. “Tidak selalu mudah untuk melakukan ini dari jarak jauh. Jauh lebih nyaman jika bisa bekerja bersama-sama secara langsung. Jika kita bisa bertemu secara fisik, foto yang dicetak bisa dijejerkan di atas meja sehingga proses editing akan lebih mudah,” aku Jenny.
Jenny serta para mentor lainnya memuji hasil akhir proyek foto yang digarap peserta selama dua bulan ini. Hasilnya di luar ekspektasi meski terjebak di tengah keterbatasan situasi.
“Mungkin karena saat ini pandemi dan lebih banyak beraktivitas di dalam rumah, teman-teman peserta jadi punya kesempatan untuk berkontemplasi dan berdialog dengan diri sendiri lewat karyanya. Level story yang dihasilkan teman-teman sungguh di luar dugaan,” puji Ng Swan Ti sambil tersenyum. // Rizka Khaerunnisa