“Belajar menulis itu sama seperti orang belajar naik sepeda,” kata Budi Setiyono, wartawan dan Redaktur Pelaksana Historia.id, mengawali kelas penulisan narasi sesi dua sambil menunjukkan ilustrasi orang yang tengah belajar naik sepeda di layar zoom meeting, Selasa, (19/1/2021). Jika pada sesi pertama para peserta mendapatkan pengetahuan seputar teori menulis, kali ini tulisan yang telah mereka kerjakan selama satu minggu diulas satu per satu oleh mentor tamu tersebut.
Budi mengumpamakan bahwa belajar menulis sama seperti belajar naik sepeda. Satu-satunya cara paling tepat adalah mencoba. Mungkin kita bisa memperoleh penjelasan langkah-langkah naik sepeda di YouTube, namun hal itu akan menjadi percuma jika tidak dibarengi dengan praktik secara langsung.
Dalam prosesnya, kita akan terjatuh, lalu bangkit dan mencoba lagi, dan seterusnya. Di samping itu, kita juga butuh dorongan dari orang yang lebih berpengalaman. Kalau dalam proses penulisan, kita akan membutuhkan seorang teman yang sudah terlatih dalam menulis atau seorang editor untuk mendorong kita agar terus maju dan mencoba.
“Teori itu sebetulnya hanya dipakai sekian persen saja. Dalam menulis yang lebih penting itu praktiknya. Kalau kita selalu mengingat-ingat kembali teorinya, justru hal itu akan membelenggu kita, membuat kita tidak merasa lepas ketika menulis,” tambah Budi.
Aturan dasar dalam menulis hanya ada dua, yaitu membaca dan menulis. Jika tidak pernah membaca, kita tidak akan mendapatkan topik-topik yang menarik dan tidak bisa memperdalam tulisan yang dibuat. Oleh sebab itu, selain memperoleh perspektif baru, dengan membaca kita juga akan tahu bagaimana cara menyusun kalimat dan memilih kata. Setelah kebiasaan membaca terbentuk, maka dorongan untuk menulis pun akan muncul.
“Kalau di kalangan wartawan atau penulis itu kan ada istilah ‘banyak tahu meskipun sedikit’. Jadi bacaan apa saja saya lahap,” tutur Budi.
Menulis merupakan proses yang panjang. Bahkan Budi mengakui, ia menganggap dirinya masih dalam tahap belajar menulis. Proses menulis itu selalu berkembang. Jika hari ini kita membaca ulang tulisan beberapa tahun lampau, perspektif dalam tulisan tersebut niscaya akan usang dan berbeda.
Sepanjang proses penulisan, kita jangan sampai melupakan aspek lain yang tak kalah penting yaitu kegiatan menyunting. Budi mewanti-wanti, penulis yang baik pada hakikatnya selalu menjadi editor yang baik bagi dirinya sendiri.
Selama kurang lebih tiga jam kelas berlangsung, Budi membedah satu per satu naskah yang sudah dikerjakan oleh para peserta. Peserta diminta untuk membacakan tulisannya dan dilanjutkan dengan proses penyuntingan. Secara umum, kekeliruan bahasa yang kerap dijumpai yaitu, salah tik, penggunaan tanda baca yang kurang tepat, Ejaan Bahasa Indonesia (EBI) yang belum diterapkan, pilihan kata yang kurang akurat, hingga logika kalimat yang rancu.
Dalam setiap sesi penyuntingan, peserta mengutarakan tentang kesulitan-kesulitan saat proses menulis. Salah satunya Nita Dian Afianti, pewarta foto Tempo, yang akan kesulitan menulis jika tidak menemukan poin-poin penting untuk paragraf pembuka penutup. Sebagai informasi, poin paragraf pembuka lazim disebut lead. Sejatinya, lead yang baik akan membuat pembaca tertarik untuk menuntaskan cerita dari awal sampai akhir.
“Aku itu tipe orang yang kalau nulis harus tahu depannya. Jadi selama depan dan akhir tulisannya belum ketahuan, biasanya cerita akan melebar ke mana-mana. Kalau sudah tahu, biasanya lebih lancar menulis,” kata Nita.
Perihal ini, Budi juga mengingatkan tentang pentingnya membuat kerangka dan struktur cerita terlebih dahulu. Tujuannya agar ide-ide yang acak bisa tersusun rapi dan tidak menyulitkan kita ketika menulis. // Rizka Khaerunnisa