Tahun ini PermataBank memilih tema Inspiration untuk mendukung semengat pengarusutamaan perempuan Indonesia, hal ini selaras dengan semangat deklarasi G-20 di Bali. Agar peserta semakin inklusif dalam mengimplementasikan tema ini, PPG XII menghadirkan satu kelas tambahan bertajuk “Pengantar Gender”.
Kelas yang diampu oleh Widya Hasian Situmeang dari Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) berlangsung interaktif. Selama 2,5 jam, para peserta diajak untuk merefleksikan relasi antara perempuan dan laki-laki dalam keseharian. Sebagai stimulus awal, alumni Institut Pertanian Bogor (IPB) ini menyodorkan tiga foto yang menampilkan gambar perempuan dan laki-laki bergaya cross dressing, seorang bayi hingga dapur rumah yang berantakan. Sekilas, ketiga foto itu tak saling terkait namun sebenarnya berkelindan dan mampu mengurai seluk beluk diskriminasi terhadap perempuan.
Kristi Dwi Utami merespons foto pertama, menurutnya, laki-laki yang memakai rok dan perempuan ballerina yang memegang skateboard adalah pemandangan yang jarang ia temu dalam keseharian. “Padahal tidak semua perempuan itu pasti feminin dan laki-laki itu pasti maskulin kan?” tanya Widya. Foto kedua menampilkan bayi yang sedang mengepalkan tangan, dari 4 peserta ada 3 yang menebak jenis kelamin bayi itu laki-laki, sementara Adwit Pramono menjawab tidak tahu. “Nah, di sinilah yang sering salah kaprah. Seks (biologis) sering disamakan dengan gender (peran). Padahal keduanya sangat berbeda,” sambung Widya.
Dalam Kajian Gender, seks adalah seperangkat alat reproduksi yang terberi sedari lahir sementara gender adalah peran dan identitas yang cair atau dapat dipilih sendiri oleh manusia. Widya mencontohkan, misal ia lahir sebagai perempuan dengan vagina, rahim, dan payudara namun secara gender ia merasa non biner dan menyukai sesama perempuan. “Ada juga orientasi atau ketertarikan pada gender tertentu dan ekspresi atau penampakan gender seseorang. Gender, ekspresi, dan orientasi bisa kita konstruksikan, hanya seks biologis yang sejauh ini terberi dari Tuhan,” jelasnya.
Di dunia yang patriarki ini pengaburan jenis kelamin dan gender berlangsung sistematis. Sejak kecil, kita dipaksa menaati segala norma yang menindas mereka yang tidak sesuai dengan konstruksi sosial dari marjinalisasi (disingkirkan), subordinasi (warga kelas dua), steotipe (dilabeli), kekerasan (verbal/non verbal) hingga beban ganda (utamanya pada perempuan). “Dalam konteks perempuan petani misalnya, kalau ia gagal panen ia tak bisa mengakses bantuan pemerintah karena tidak dianggap sebagai pencari nafkah utama,” sambungnya.
Ia lalu menunjukan sebuah foto karya Paul Connel yang menunjukan atlet perempuan yang diganggu beberapa laki-laki sehingga gagal mencapai garis finish. Dari contoh itu Widya memberi pesan bahwa fotografi dapat menjadi medium untuk mengangkat kisah perempuan inspiratif yang mampu mengakhiri stigma dan mewujudkan perubahan sosial.