Jumat, (15/1/2021), pelatihan fotografi, rangkaian program Permata Photojournalist Grant (PPG) 2020 memasuki sesi kedelapan. Kelas dibagi menjadi dua babak. Pada babak pertama, peserta dipecah menjadi dua kelompok kecil. Masing-masing kelompok dibimbing oleh mentor Rosa Panggabean dan Yoppy Pieter. Bersama para mentor, setiap peserta menyeleksi dan memilih 15 foto (minimal) dari empat puluh lima foto yang diajukan.
Pada babak kedua, seluruh peserta bergabung kembali dalam satu room. Di tahap ini, Edy Purnomo memaparkan materi tentang Photo Sequencing.
“Mengapa membuat sequencing di editing ketiga? Tujuannya agar peserta tahu, pertama kira-kira ceritanya mau dibawa ke mana. Kedua, bagaimana cara menyusun cerita itu. Terakhir, bagaimana menguatkan dan menambah yang kurang dari struktur yang ada,” terang Edy.
Secara garis besar metode sequencing terdiri dari tiga tahapan, yaitu clustering (pengelompokkan foto), menyusun, dan story arc.
Jika ingin mengedit foto, hal pertama yang harus dilakukan adalah mengelompokkan foto-foto itu terlebih dahulu. Pengelompokkan foto mula-mula harus diseleksi berdasarkan mood visual yang ditampilkan. Tahapan ini harus memperhatikan kepaduan warna, angle, hingga visual approach (pendekatan visual) sekaligus bagaimana pendekatan visual itu digunakan.
“Jangan sampai belang secara mood visual karena hal ini akan mengganggu banget dalam proses editing nanti. Misalnya, kalau kebanyakan warna-warna [red: dalam fotonya] blues atau biru, tiba-tiba muncul satu foto yang warnanya putih sendiri. Itu kalau tidak diperlukan, ya tidak usah dipakai. Meskipun terkadang ada yang memakai itu,” ujar Edy.
Edy mengibaratkan ihwal mood visual ini sama seperti cara kita mendengarkan musik. Melodi dalam musik setidaknya harus selaras dan berirama. Ketika tiba-tiba muncul satu nada yang menyimpang, musik akan terdengar aneh di telinga. Begitu pula dengan cerita foto. Rangkaian dari satu foto menuju foto yang lain harus selaras.
“[Memang] secara teori, tak ada aturan baku. Tetapi, nanti ketika kita melihat visual secara keseluruhan, kita baru bisa merasakan bagaimana cerita punya flow, bagaimana satu foto dengan foto lainnya punya keterkaitan berdasarkan mood-nya. Konten pada akhirnya bisa mengikuti asalkan mood visual-nya sama.”
Setelah mood visual dapat ditangani secara baik, baru bisa menyeleksi foto berdasarkan konten atau isi cerita dan dilanjutkan dengan menyusun foto secara berurutan.
Agar susunan cerita foto padu dan utuh, diperlukan kerangka story arc. Setidaknya ada tiga bagian dalam story arc yang dimulai dengan exposition sebagai pembuka cerita. Kemudian cerita mulai bergerak sampai pada klimaks dan ditutup dengan resolution.
“Kunci dari editing [sebetulnya] teman-teman harus menanamkan di dalam kepala bahwa editing itu bukan kumpulan foto-foto bagus,” tambah Yoppy di sela-sela diskusi.
Meski pada akhirnya foto dituntut harus bagus, namun hakikat cerita foto tak sekadar demikian. Yang paling penting adalah keterkaitan antara satu frame ke frame berikutnya.
Yoppy juga mengatakan bahwa fotografer harus membuang jauh egonya saat masuk dalam proses editing.
“Saya bisa paham banget, misalnya ada fotografer bilang seperti ini, ‘foto ini harus masuk karena gue susah banget motretnya, gue harus manjat tebing, gue harus jatuh dari motor…’ Orang di luar sana tidak peduli dengan hal itu. Yang saya peduli adalah apakah foto ini nyambung dengan cerita dalam tatanan frame-frame yang kalian tampilkan. Jadi buang jauh-jauh ego itu,” jelas Yoppy lagi.
Di akhir sesi, para mentor meminta agar peserta menyusun pokok cerita, maksimal dalam 3 kalimat. Proses ini akan menentukan sejauh mana peserta menguasai inti cerita yang ingin diungkapkan kepada audiens. Jangan sampai cerita itu disampaikan dalam kalimat yang bertele-tele dan menyebabkan audiens gagal memahami arah cerita.
“Kalau itu tidak clear, saya yakin seratus persen teman-teman akan merasa kesulitan menyusun cerita. Apalagi kalau lebih dari tiga kalimat, teman-teman fotografer pasti akan kebingungan membuat sequencing-nya,” ujar Edy. // Rizka Khaerunnisa