“Brruuumm….. Bruuummm….”
Brruuumm….. Bruuummm….
Alfian Romli, Universitas Mataram & HIMIKOM UNRAM
Deru suara kenalpot terdengar nyaring. Puluhan remaja berusia 14-18 tahun berjejer memadati sepanjang Jalan Baru Taliwang (JBT), Mataram, NTB. Berkaos oblong, bercelana pendek, dan hanya mengenakan sandal jepi, mereka berbersiap melakukan aksinya dengan motor modifikasi. Saling berakselerasi dengan kecepatan tinggi, saling unjuk gigi bak pembalap motor profesional. Tampak sebagian remaja lainnya datang bergerombol sekadar untuk menyaksikan ajang balapan, tak jarang mereka membawa uang taruhan. Setiap sore, area JBT selalu ramai oleh deru motor dan sorakan riuh.
“Mungkin bagi abang, jatuh itu sakit. Tapi bagi kami, itu nikmat dan membanggakan,” kata Jabon (16), remaja asal Narmada, Lombok Barat yang sudah mulai melakukan balapan liar sejak ia masih duduk di bangku sekolah dasar.
Di Lombok, balap liar banyak digandrungi oleh remaja usia sekolah. Bagi mereka, balap liar bukan hanya sekadar hobi tapi jati diri. Bukan perkara membuktikan siapa yang tercepat di antara mereka, tapi persoalan kehormatan dan kebanggaan kelompok. Meski balap liar mengantarkan mereka pada cedera, bahkan hingga meregang nyawa.
Balap liar bukan hal baru di Lombok. Balap liar bahkan sudah ada sejak lama. Salah satu faktor pemicunya adalah begitu mudahnya masyarakat untuk membeli motor dengan sistem pembayaran kredit. BPS mencatat setidaknya ada 1.174 340 sepeda motor pertahun 2014 dan terus bertambah hingga sekarang. Sepeda motor bukan lagi barang mewah di Lombok. Hampir setiap keluarga memiliki setidaknya dua atau tiga sepeda motor di rumah mereka. Didukung dengan kondisi jalanan di Lombok yang lurus, rata, dan sepi, menjadikan balap liar sering dilakukan.
Sudah banyak upaya yang dilakukan untuk menertibkan balap liar. Namun, balap liar dan “para pembalap” ini selalu punya cara untuk tumbuh hingga menjadi subbudaya di tengah masyarakat Lombok.