Bumi Tunggu Tubang
Kabut tipis bercampur udara dingin terasa dalam perjalanan menuju Semende, sebuah kecamatan kecil berjarak delapan jam dari Kota Palembang. Jalanan berkelok dikelilingi jurang adalah pemandangan yang menyambut pendatang ke salah satu kawasan penghasil kopi di Sumatra Selatan ini.
Selain daerah penghasil kopi, Semende memiliki budaya unik yang terjaga secara turun temurun sejak ratusan tahun lalu. Adat yang disebut Tunggu Tubang ini mewajibkan anak perempuan tertua mengurus harta warisan keluarga.
Herliyati (46), warga Desa Cahaya Alam, Semende Darat Ulu, Kabupaten Muara Enim, sejak kecil ditunjuk sebagai Tunggu Tubang di keluarganya. Ia bertanggung jawab atas sawah, rumah, kebun kopi dan kolam ikan milik leluhurnya.
Tradisi Tunggu Tubang dipercaya masyarakat Semende sebagai aturan yang dibuat oleh puyang atau orang yang dituakan di tengah masyarakat setempat. Dalam menjalankan tugasnya, sang Tunggu Tubang dibantu oleh anak lelaki dalam keluarganya.
Mereka yang berstatus Tungggu Tubang diperbolehkan membeli lahan baru, namun tidak boleh menjual lahan milik leluhur. Bila aturan tersebut dilanggar, masyarakat Semende percaya bahwa keluarga si Tunggu Tubang akan mendapat petaka.
“Kami Tunggu Tubang dilarang menjual warisan leluhur, kami harus menjaganya agar kelak kami tidak kesusahan untuk hidup”, kata Hindia yang juga merupakan puyang pertama di garis keturunannya.
Selain itu, masyarakat Semende juga memiliki aturan keras dalam pengelolaan hutan setempat. Warga dilarang menebang hutan sembarangan agar ekosistem lingkungan selalu terjaga dengan baik.
“Kami dilarang membuka hutan adat di atas bukit dan membuka lahan di sekitar mata air. Hal itu akan menyebabkan sawah dan kebun milik kami menjadi kekeringan dan jika kami melanggar aturan, paceklik akan terjadi di daerah ini,” tambah Hindia saat menunjukkan hutan adat di bukit belakang rumahnya.