Jalan Hidup Emma: Memungut Mimpi
JALAN HIDUP EMMA: MEMUNGUT MIMPI
Fransiskus Parulian Simbolon, Kontan
Berdasarkan survei nasional Badan Pusat Statistik dan International Labour Organization (ILO) dari total 58,8 juta anak Indonesia usia 5-17 tahun, sebanyak 4,05 juta adalah pekerja anak dan 43,3% dari pekerja anak tersebut melakukan pekerjaan nonformal terburuk untuk anak, seperti pengemis, pengamen, dan pembantu rumah tangga.
Mereka terpaksa bekerja dan putus sekolah, sehingga tidak dapat menikmati hak-hak dasar atas pendidikan, keselamatan fisik, perlindungan, bermain, dan rekreasi. Lembaga Understanding Children’s Work (UCW) juga mencatat bahwa pekerja anak Indonesia terbanyak bekerja di sektor pertanian, disusul sektor jasa dan manufaktur.
Jumlah yang relatif tinggi ini sebenarnya ironis karena UU RI No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak menetapkan bahwa batas usia anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun.
Emma Dilsiana, salah satu sosok pekerja anak. Lahir dari keluarga yang kehidupan sosialnya jauh dari sejahtera memaksa Emma jadi bagian tulang punggung dalam memenuhi kebutuhan hidup keluarganya di belantara ibukota. Gadis sembilan tahun ini harusnya tidak memulung serta mengamen di perempatan jalan raya. Kemiskinan juga membuat hubungan orangtua Emma kurang harmonis. Bapaknya kerap
melakukan kekerasan terhadap ibunya.
SDN Inpres 05 adalah tempatnya belajar menimba segala ilmu, sementara jalanan tempat pendadaran menghadapi kenyataan. “Kalau Emma sehari-hari tidak memulung dan mengamen, Emma nggak bisa makan, Kak,” cetusnya.
Meski termasuk pendiam, Emma yang bercita-cita sebagai dokter hewan ini, amat digemari teman-teman sebayanya. Emma selalu membagikan ilmu pengetahuan yang diperoleh di sekolah kepada teman-teman yang tidak mengenal dunia pendidikan. Emma sering melamun menyendiri. Namun di balik semua itu, saya tangkap ia memiliki segudang impian: kebebasan, harapan, semangat, perhatian, dan kembali menyatunya keharmonisan keluarga yang telah hilang.
Kami yang miskin bukan berarti bego. Mereka yang kaya bukan berarti hebat, bunyi lirik coretan dinding tak jauh dari tempat tinggal Emma. Sebuah sentilan kritis bagi semua: sudah sejauh mana kepedulian kita dan pemerintah terhadap pendidikan bagi anak-anak terlantar dan kurang mampu di Indonesia?