Jeda yang Berwarna
Krisis seperempat abad atau quarter life crisis adalah fase kehidupan yang cukup lazim. Hartri Buanaloka, 26, desainer grafis di Bandung, merasa ia sedang mengalaminya. Di satu sisi, ia merasakan berbagai tekanan untuk terus maju di industri kreatif. Di lain sisi, ia sering membandingkan dirinya dengan teman-teman yang terlihat lebih maju kariernya atau sudah berumah tangga.
Hartri lalu mempertimbangkan untuk menjalani slow living alias gaya hidup pelan. Gaya hidup ini menjadi pilihan karena dirasa cocok untuk dirinya yang ingin menjalani waktu dengan lebih lambat dan enggan mengikuti ritme kehidupan orang lain di lingkungannya yang dirasa terlalu cepat. Tekadnya semakin bulat ketika ayahnya meninggal.
“Saat bapak meninggal, aku langsung mikir, untuk apa juga aku berlebihan buat ngejar duniawi, toh akhirnya kita semua meninggal. Jadi ya sudah secukupnya aja, sekiranya tidak ada manfaatnya untuk saya dan orang lain, juga tidak menjadi bekal di akhirat kelak, ya untuk apa dilakukan,” ucapnya.
Tak banyak yang berubah dari jadwal harian Hartri: bekerja, beribadah, dan melakoni hobi. Namun yang berbeda adalah pola pikirnya. Alih-alih berfokus pada pencapaian orang lain, ia meluangkan waktu untuk berkebun, memasak, dan memelihara ikan peninggalan almarhum sang bapak.
“Bagi saya slow living adalah seni menikmati hidup. Untuk mencapai sesuatu, fokusnya bukan hanya ke target, tapi juga prosesnya,” katanya.
Di hari libur, Hartri menyempatkan diri menikmati alam di sekitar tempat tinggalnya. Ia sering jalan-jalan ke kawasan danau di Batujajar, Kabupaten Bandung Barat untuk sekadar menenangkan pikiran. Ia lebih memilih bertemu di dunia nyata daripada media sosial dengan orang-orang terdekat. Hal itu membuat hubungannya dengan orang-orang terdekat menjadi lebih intim dan berharga.
Menurut Hartri, menjalani slow living bukan berarti bermalas-malasan. Ia mengatakan, perlu ada kegiatan yang dikerjakan tapi tidak harus dengan tekanan. Setelah mengubah pola hidup, dirinya jauh lebih tenang dan bahagia sebab tak harus mengikuti standar kesuksesan orang lain.
Psikiater dari RSIA Limijati, Elvine Gunawan, menuturkan, seseorang yang menjalani gaya hidup slow living dapat menjadikan hidupnya lebih produktif dan berkualitas. Kehidupan yang serba cepat seperti saat ini mendorong seseorang mengambil jalan instan atau multitasking demi memenuhi target atau tuntutan kerja. Akibatnya, fokus orang itu akan menurun dan berpengaruh pada kualitas hidup serta kesehatan mentalnya.
“Kunci dari menjalani slow living ada tiga poin, yakni realistis, tidak berekspektasi terlalu tinggi dan perbanyak bersyukur,” ungkapnya.