Kresnapaksa
Kresnapaksa
Arif Hidayah (Pikiran Rakyat, Bandung)
Dalam rintik hujan, cahaya lampu motor menyorot kilatan golok kepala naga Bozel yang diayunkan dengan menakutkan, membuat seorang pengendara berbalik arah. Jalanan yang basah dan sunyi menambah suasana mencekam.
Kekerasan di jalan seakan menjadi panggung kekuasaan yang diwariskan dari generasi ke generasi. Bagi anggota geng motor, kekerasan adalah ajang untuk mendapatkan gelar yang disegani musuh dan teman seanggota. Nyawa seakan tidak ada artinya.
Berawal di Bandung tahun 1990. Empat geng motor yaitu Moonraker, Grab on Road (GBR), Exalt to Coitus (XTC) dan Brigade to Seven (Brigez), yang hingga saat ini masih memiliki ribuan anggota dengan basis terbanyak di Bandung dan tersebar di 25 provinsi di Indonesia, berkomitmen untuk menjadi rival abadi setelah sebuah perkelahian. Dalam sebuah insiden perkelahian pada Senin, 5 Juni 2017, Rega (18) salah satu anggota XTC tewas dianiaya anggota Brigez.
Aksi teror ini tidak hanya berlaku untuk anggota geng, tapi juga menyerang masyarakat umum melalui aksi pembegalan dan penganiayaan. Jalan Tamansari yang sepi menjelang tengah malam merupakan lokasi strategis untuk melancarkan aksi begal dan perampokan yang pelakunya didominasi anggota geng motor.
Namun tidak semua anggota menyebar teror, Kiki Ahmad (33), seorang senior geng motor ingin memperbaiki citra geng motor dengan membenahi perilaku personelnya. Ia menjalankan kegiatan sosial di masjid dan menjadi penggerak perdamaian antar geng bersama rekannya yang memiliki misi sejalan. Memang tidak mudah, tetapi ajakan perdamaian terus disebar untuk mengubah citra geng motor yang sadis, brutal dan penuh permusuhan.
Kemudian lahirlah berbagai program damai seperti Brigez Berzikir, GBR Fisabilillah, Moonraker Syariah dan XTC Hijrah. Fenomena ini menjadi tren sesaat, bahkan dipergunakan secara sepihak oleh aparat untuk mendeklarasikan pembubaran geng motor, yang pada tahun 2010 berubah menjadi Organisasi Kepemudaan.
Perubahan yang abu-abu. Tidak mengubah gelapnya dunia geng motor yang selama bertahun-tahun kental dengan tradisi kekerasan.
Agenda perdamaian terkonsentrasi di masjid dan perkotaan. Sedangkan 33 km ke selatan Bandung, remaja belasan tahun masih tenggelam dalam tradisi perkelahian untuk mencari eksistensi di mata senior dan lawan. Puluhan remaja yang berkumpul di pelataran pertokoan sambil menenggak minuman keras sudah menjadi pemandangan lumrah setiap malam.
Kesadaran untuk berhenti total dari lingkaran geng motor juga diteladani oleh Syaelindra Kaka (36) setelah kejayaannya menjadi panglima perang selama sepuluh tahun. Di studio tato tempatnya berkarya, ia berujar, “Selama masih ada korban jiwa dan perselisihan, permusuhan tidak akan pernah padam.”
Seperti paruh bulan yang gelap usai purnama, ia tetap ada namun membutuhkan cahaya untuk melihatnya.