Mace Halifah
“Kalau makan ka di Mace, selalu na tegur ka kenapa sedikit ji ku makan.”
“Kalau ketemu Mace, selalu ka ditanya sudah mi ko makan nak?”
Begitulah perhatiannya Mace, ibu pemilik kantin di kampus yang menganggap hampir semua mahasiswa termasuk saya seperti anaknya sendiri.
Mace suka sekali menyajikan makanan lengkap kesukaan saya; nasi hangat, ikan pallumara, dan sayur, di saat uang bulanan saya hampir habis. Begitu juga dengan mahasiswa lainnya. Tapi semua hutang kami tidak pernah dicatat olehnya.
“Ededeh, ingat sendiri mi utang ta nak”, ucapnya kepada kami, sebab Mace tidak bisa membaca dan menulis.
Halifah (62) yang akrab disapa Mace, telah berjualan di kantin FISIP Universitas Hasanuddin, Makassar, selama kurang lebih 30 tahun. Hampir setiap hari, Mace membuka kantinnya dari pagi hingga pukul 8 malam, bahkan saat libur perkuliahan.
Mace lebih sering menghabiskan waktunya di kantin kampus daripada di rumah. Sejak suami dan anak pertamanya meninggal dunia, ia tidak ingat kapan terakhir kali memasak di rumah. Kata Mace, rumahnya hanya digunakan untuk tidur pada malam hari dan mencuci pakaian pada Minggu pagi. Selebihnya, Mace lebih senang menghabiskan waktunya di kantin miliknya.
Ya, bertemu kami adalah pelipur laranya. Bagi kami, hubungan kami dengan Mace itu lebih dari penjual dan pembeli. Seperti kata “Mace” yang berarti ibu, dia ibarat “Ibu” bagi kami yang jauh merantau dari rumah.