MELAKONI MELANKOLI
MELAKONI MELANKOLI
Felix Jody Kirnawan, Kontributor Project Multatuli – Banten
Reynold (25) membuka catatan hariannya yang bersampul gambar papan clapper film. Ia tersenyum, sesekali tergelak ketika membaca kembali tulisan zaman sekolah dulu. Isinya mulai dari persoalan sehari-hari, ide-ide cerita, serta mimpi menjadi seniman Broadway.
Buku diari itu kertasnya keriput bekas basah air, sebagian tulisannya buram. Spontan saya bertanya. Ada jeda, lalu ia menghela. Di pertengahan 2021, Reynold sempat menenggelamkan diri di kolam renang komplek bersama catatan hariannya itu. Peristiwa tersebut adalah usaha kesekian untuk mengakhiri hidupnya. Tidak ada seorangpun yang tahu, sampai malam ini ketika ia bercerita. Terkejut, buat saya yang sudah mengenalnya selama tiga tahun, dia adalah kawan yang humoris dan menyenangkan. Malam ini saya benar-benar tak siap memberi tanggapan.
Reynold didiagnosis mengalami depresi sejak awal kuliah di 2018 atau ketika ia sudah punya biaya untuk berkonsultasi ke profesional. Namun, jika ditarik ke belakang, gejalanya sudah muncul sejak Sekolah Dasar (SD). Menyayat paha dan pergelangan tangan jadi rutinitas. Luka di badan mengalihkan sejenak kacau di kepala.
“Anjing bahkan lebih tahu diri dari kamu!” kata ibunya pada suatu waktu kepada Reynold kecil. Kalimat itu tajam. Harga dirinya runtuh. Saat itu ia merasa hidup jadi tak punya harga.
Sejak orang tuanya berpisah, Reynold diasuh oleh ibunya. Ia tak punya kenangan indah bersama sang ibu. Kekerasan fisik dan verbal kerap dilemparkan kepada Reynold setiap ia berbuat salah. Kini ia sadar, ibunya juga memiliki masalah dengan kesehatan mentalnya.
Dalam jurnal ilmiah yang ditulis oleh Evelina Landstedt dan Ylva B. Almquist bertajuk Intergenerational Patterns of Mental Health Problems: The Role of Childhood Peer Status Position disebutkan bahwa 11,8% anak laki-laki dengan orang tua bergangguan mental cenderung akan mengalami gejala gangguan mental di usia dewasa. Sementara untuk perempuan persentasenya lebih besar, yakni 13.7%.
Generasi baby boomers umumnya menyimpan stigma buruk terhadap gangguan mental. Mereka terbiasa dididik “keras”. Memiliki gangguan kesehatan mental dianggap sebagai kelemahan. Mengakui kondisi jiwa yang limbung bisa-bisa dicap gila. Bagi para boomers, kesehatan mental tak pernah benar-benar dibicarakan, bahkan diacuhkan. Sebagian dari mereka terus hidup dengan marah di dada dan runyam di kepala.
“Mama threw glasses to Papa
Papa just stared at the shards
Brother was scared of what used to be our tube, and…?
Don’t know why I remember this night after I woke up…?”
(dari catatan harian Reynold)