Ondel-Ondel di Putaran Zaman
ONDEL-ONDEL DI PUTARAN ZAMAN
Jhony Hutapea, Bloomberg Businessweek Indonesia
Sore itu, diiringi alunan nada sopran, tarian boneka besar atau yang lebih dikenal dengan “ondel-ondel” menyusuri permukiman dan pertokoan di pinggiran kota Jakarta. Berukuran dua kali lipat lebih besar dari orang yang memikul di dalamnya, ondel-ondel kerap memacing kegirangan bocah-bocah. Perlahan, uang receh dan kertas pun terkumpul dalam kaleng bekas cat yang disodorkan.
Berdalih kebutuhan ekonomi, dengan cara mengamen, segelintir orang yang mengaku dirinya seniman memaksa ikon Jakarta itu dijadikan sumber uang tanpa mengindahkan fungsi dan nilai yang terkandung di dalamnya. “Kalo gak ngamen gue makan apaan? Hidupin keluarga gue pake apaan? Gue kan butuh duit juga buat ngerawat nih ondel-ondel,” ungkap Mulyadi, sambil memperbaiki gendang usang yang hamper tak layak pakai.
Dahulu, ondel-ondel yang merupakan salah satu kebudayaan Betawi digunakan sebagai pengusir roh jahat dan penolak bala dengan cara diarak mengelilingi kampung. Seiring perkembangan zaman, kini “si barongan” mengalami pergeseran fungsi dengan lebih banyak turun ke jalan dan dimanfaatkan oleh oknum tertentu untuk mencari uang.
Hal tersebut membuat Pemprov DKI melakukan pelarangan pengamen ondel-ondel, karena tidak sesuai dengan Perda Nomor 8 Tahun 2007, yang dianggap mengganggu ketertiban umum. Budayawan Betawi pun gundah dengan banyaknya pengemis berkedok seniman tersebut, karena tidak sesuai dengan fungsi dan peranan ondel-ondel, dan merendahkan harga diri kebudayaan Betawi.
Tak bisa dipungkiri, uang sudah menjadi tujuan; untuk memenuhi desakan ekonomi, hingga untuk merawat kesenian ini. Seyogianya, pemerintah daerah bersama masyarakat bertanggung jawab untuk memperhatikan dan memelihara semua ini. Atau kelak, generasi Betawi hanya cukup mengetahui dari monumen ondel-ondel yang saat ini berdiri megah di tengah Bundaran Jalan Benyamin Sueb, Kemayoran, Jakarta Pusat.