Sepotong Kisah dari Bibir Rawa Pening
Kisah Baru Klinting, sosok bocah jelmaan ular naga, diceritakan secara turun-temurun sebagai awal terciptanya Danau Rawa Pening, di Kabupaten Semarang. Murka dengan perbuatan buruk penduduk desa, ia menancapkan lidi ke tanah lalu mencabutnya, mengakibatkan air terus-menerus menyembur hingga menciptakan genangan besar. Seluruh penduduk desa bernasib tragis, kecuali Mbok Rondo yang diselamatkannya, karena kebaikannya yang telah memberi makan dan merawatnya.
Bagaikan tandon air yang dikelilingi pegunungan, Rawa Pening menjadi sumber penghidupan dan tabungan bagi masyarakat, tumbuhan, dan satwa di sekitarnya. Sayang, keadaannya kini kritis dan menjadi salah satu dari 15 danau prioritas nasional*) karena berbagai masalah pelik soal kebersihan dan ancaman kepunahan biota dan ekosistemnya yang mengkhawatirkan. Kondisinya bagaikan Baru Klinting yang dicampakkan yang bisa menimbulkan bencana di masa mendatang.
Tak sekadar dongeng, Sugiyati alias mbah Gik (71), warga pesisir Rawa Pening, Desa Rawa Boni, meneladani kisah Baru Klinting untuk melakoni hidup, yang mengingatkan manusia akan pentingnya hubungannya dengan Allah, sesama manusia, dan dengan alam.
Hablum minallah, hablum minannas, hablum minal alam.
Bak Mbok Rondo yang mengasihi Baru Klinting, Mbah Gik memberikan ilmu dan teladan kepada warga sekitar melalui kegiatan kesenian lokal, seperti tari, geguritan, karawitan, hingga daur ulang sampah plastik. Ibarat sambil menyelam minum air, Mbah Gik tak hanya menjadikan kesenian lokal untuk hiburan semata, namun juga sebagai sarana mengajak masyarakat memaknai bentang alam dan merawat generasi.
*) Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 60 Tahun 2021 Tentang Penyelamatan Danau Prioritas Nasional. Jakarta.