Stay in the Dreams: Cosplayer’s Secret Obsession, A Post-Human Phenomenon in Jakarta
Stay in the Dreams: Cosplayer’s Secret Obsession, A Post-Human Phenomenon in Jakarta
Mas Agung Wilis Yudha Baskoro (Jakarta Globe, Jakarta)
Wajahnya semringah. Penat di tubuh Yohanes hilang ketika masuk ke kamarnya sepulang bekerja. “Selamat datang di duniaku,” katanya sembari membukakan pintu kamar. Remang-remang dan berantakan. Aroma khas pengharum ruangan tercium dari lemari plastik tempat barisan waifu terpajang. Mereka tersenyum centil menyambut kedatangan tuannya. Pria kelahiran 1989 ini memandangi mereka sejenak, lalu merebahkan badan di kasur sembari memeluk dakimakura.
“Sejak kecil jiwa weebo sudah muncul.” Yo, biasa ia dipanggil, tumbuh di tahun ’90-an. Ia akrab dengan anime Jepang yang disiarkan stasiun televisi swasta Indonesia saat itu. Yo mulai terjun sebagai cosplayer amatir pada tahun 2016, ketika ia memanfaatkan anime untuk mengisi ruang-ruang kosong dalam dirinya setelah ditinggal sang kekasih.
Yo memiliki waifu bernama Nico. Ia pernah mengajak Nico berlibur ke Jepang dan jalan-jalan menyusuri kota Jakarta pada hari libur. “Nico enak diajak jalan-jalan karena bisa pose. Lebih hidup.”
Menyandang status sebagai anak kolong tidak membuat Yo kecil kebal ejekan dari teman-teman sepermainannya. “Waktu kecil saya pernah di-bully gendut.” Ejekan itu menjadi salah satu alasan Yohanes melakukan cosplay.
Ia memotivasi diri untuk menjaga berat badan sembari menyelami nilai-nilai yang dimiliki karakter bernama Allen Walker dari anime D.Gray-man. Rela berkorban, tidak mudah menyerah, dan melawan seven deadliest sins dalam bentuk akuma (iblis) adalah sifat Allen Walker yang mengilhami Yohanes sebagai cosplayer sekaligus penganut Katolik yang taat.
Milenial ditetapkan sebagai generasi yang sangat kesepian dan rawan depresi. Sebagai bagian dari generasi milenial, Yohanes menggunakan perangkat imajinasinya untuk melupakan kesepian dan memotivasi diri untuk mendapatkan bentuk tubuh ideal. Dr. Semiarto Aji Purwanto, antropolog dari Universitas Indonesia, mengatakan bahwa ini adalah fenomena post-human; saat manusia sudah jenuh dengan kemanusiaan sehingga mulai membentuk relasi dengan non-human actor. Yohanes secara sadar membangun hubungan dengan waifu dan kostum cosplay-nya yang berdiri sebagai “agensi” sendiri. Meskipun berasal dari Jepang, hal ini lebih tepat dipandang sebagai fenomena ketimbang kebudayaan.
Karakter manga adalah proyeksi ketidakpuasan orang Jepang terhadap kehidupannya. Kehadiran mereka adalah jawaban, sebuah pelengkap hidup bagi Yohanes atau seseorang di luar sana yang mengidamkan sesuatu yang saat ini belum sepenuhnya berhasil mereka capai.